Senin, 30 Desember 2013

Dandelion

Dandelionku, begitu aku memanggilmu. Senyummu selalu mengembang saat aku memanggilmu dengan sebutan itu. Kau seperti bunga dandelion, bunga liar yang kuat, bunga liar yang tetap hidup meski tumbuhan lain telah mati. Dandelion akan tetap hidup selama sinar matahari tetap menyinarinya, seperti kau yang senantiasa memanggilku matahari, ya aku yang membuatmu tetap hidup, kau pernah mengatakan jika akulah cahaya matahari itu, yang senantiasa menemanimu, membuatmu semakin kuat, membuatmu semakin tumbuh dengan pucuk-pucuk rinai kibasan setiap helai dandelion yang gugur. Kau mengatakan bahwa aku juga yang senantiasa membuatmu semakin kuat dandelion, di sela-sela batu, di pinggiran rel kereta api, di bongkahan-bongkahan batu berpasir, dan di sela-sela padang ilalang, kau bisa tumbuh dimana saja asal ada aku.

Dulu aku menemukanmu, diantara rintik hujan, kau menangis dandelionku, kau begitu berbeda dengan dandelion yang selalu ku lihat sekarang. Raut wajahmu menunjukkan kau lelah, tak seperti dandelion, kau peluk kedua lututmu dengan tangan menelungkup. Aku terduduk tepat di depanmu, memandangimu, aku tak tahu harus melakukan apa, aku tak mengerti apa yang harus aku lakukan. Kau terus menangis, kau tak menyadari kehadiranku, rintik hujan mulai tak berjarak, terus membasahi bunga dandelionku. Kau nampak terluka, kau nampak rapuh, Sedang apa kau disini? Aku memberanikan diri bertanya, perlahan kau angkat mukamu, sendu, wajah yang sendu, raut penuh luka, raut penuh harapan, raut yang polos, rintik hujan tak mampu menerobos derai air mata itu, lampu temaram juga tak mampu menghalangi mataku untuk bisa melihat jelas wajahmu. Kau tiba-tiba memelukku, entah aku tak mengerti, mungkin kau menemukan tempat yang teduh dimataku, kau sesenggukan di pundakku, kau memeluk erat pundakku. Aku bingung, aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Lirih kau berkata "mengapa tak pernah ada yang tulus?", aku mendongak, hujan menusuk mataku, pedih, aku memelukmu erat, berkata pelan, lirih, bahkan seperti samasekali tak terdengar "Mengapa tak ada yang bisa menerima ketulusanku?", kau melepaskan pelukanmu, perlahan, lalu menatap mataku. Kau menatap mataku lekat. Lirih kau bertanya "Kamu kenapa?". Aku tak apa-apa, lirih suaraku menjawab, hujan terus membasahiku, aku tak peduli, aku tak merasakan rintik hujan ini perlahan semakin menusuk pundakku.

"Aku tak mengerti mengapa dia tega meninggalkanku, aku tak mengerti mengapa dia memutuskan untuk tiba-tiba pergi, aku selalu seperti ini, mungkin belum takdirku bertemu dengan matahariku", kali ini kau berkata sambil menatap kosong lampu taman, sejak pertemuan malam itu, kita menjadi sering bertemu, bahkan hanya sekedar untuk jalan-jalan.
"Aku juga tak mengerti, mengapa ketulusanku selalu tak berarti", kataku sambil menatap wajahmu yang masih menatap kosong lampu taman, kau tersenyum, itu pertama kalinya aku melihatmu tersenyum setelah pertemuan pertamaku denganmu, setelah satu tahun kejadian malam-malam di bawah rintik hujan kau menangis sambil memelukku berlalu.
"Mungkin kita belum bertemu dengan orang yang tak tau rasanya luka", kau menatapku, membuatku cepat-cepat memalingkan muka agar aku tak ketahuan kalau aku suka mencuri-curi waktu untuk memandangimu.
"Bukan begitu matahariku?", kau tertawa menampakkan gigimu yang rapi, kau berlari meniup bunga-bunga dandelion di taman itu. Entah darimana datangnya, kunang-kunang mengelilingimu, tepat diatas kepalamu, seraya bunga dandelion berguguran, kau tampak gembira, ku lihat dari kursi taman ini, aku tersenyum, hangat. Senyum lepasku juga setelah satu tahun terakhir aku masih berkutat dengan cinta lamaku.

Entah semua berawal darimana, mulai saat itu, setelah lampu taman itu mulai mati secara otomatis, kau menjadi dandelion dan aku mataharimu. Katamu "Kau yang membuatku hidup kembali, kau yang mampu mempertahankan dandelion hingga bunganya yang berguguran menjadi tumbuh dengan kuncup yang putih".


Untuk Kamu Matahariku
22.33 WIB
30 Desember 2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar