Kamis, 28 Mei 2015

MAHASISWA BUTA PPG, SEMINAR PENDIDIKAN OVERLOAD



Liza Tri Handayani
A310120232/ 6B
Tugas Jurnalistik Berita 2




Seminar nasional (semnas) reformasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)  yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), berhasil menyedot antusiasme peserta, Selasa (26/5/2015).
BEM FKIP UMS periode 2014/2015 menyelenggarakan semnas yang bertemakan Reformasi LPTK. Seminar ini menjadi penutup dari serangkaian acara pekan ilmiah pelajar (pimpel) yang diikuti sepuluh himpunan mahasiswa program studi (HMP). Selain itu, BEM menjadikan seminar yang dimoderatori oleh Tunjung Laksono, dosen PKN FKIP UMS untuk mengumumkan pemenang lomba debat yang diikuti oleh sepuluh HMP (27/4). Lomba itu dimenangi oleh HMP PGSD sebagai juara pertama, disusul HMP Bahasa Inggris sebagai juara kedua.
Pembicara seminar, Sugiaryo yang menjabat sebagai Ketua LPTK Solo membicarakan berbagai model dan pengembangan guru agar menghasilkan guru yang profesional, salah satunya pentingnya Pendidikan Profesi Guru (PPG). Menurur Sugiaryo, LPTK perlu direformasi karena beberapa alasan, salah satunya guru mendapat bekal yang cukup tentang persekolahan. Jika tidak memiliki bekal yang cukup, mereka tak berkompeten.
Meski tanpa persiapan yang matang, semnas ini berhasil menarik minat peserta. Tema yang diambil juga sesuai dengan kebutuhan calon pendidik masa kini. Seperti yang diungkapkan salah satu peserta, Desi, mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI). Dia beralasan mengikuti seminar ini untuk mengetahui informasi pengembangan profesi guru. “Saya merasa masih buta akan PPG, padahal saya butuh, jadi saya ikut,” tuturnya. “Tetapi, saya sedikit kecewa karena masalah PPG tidak dikupas secara tajam, namanya saja reformasi LPTK, tetapi setidaknya saya menjadi lebih tahu keadaan di lapangan walaupun saya belum praktik secara langsung,” imbuhnya.
Jumlah peserta yang overload membuat panitia kewalahan. Seperti dikemukakan Indri, salah satu panitia semnas, bahwa target peserta hanya 150 orang. Namun, antusiasme mahasiswa begitu tinggi, sehingga peserta yang mengikuti seminar mencapai 260 orang. Mahasiswa yang mengikuti seminar pun dari berbagai jurusan, mulai dari mahasiswa FKIP, FAI, hingga mahasiswa IAIN Surakarta. Biaya yang terjangkau juga menjadi alasan seminar ini menarik minat mahasiswa, untuk pembelian presale Rp 20.000,- dan on the spot (OTS)  dihargai Rp 35.000,-. Seminar yang diselenggarakan di auditorium Mohammad Djazman ini menyediakan seminar kit untuk peserta, yaitu berupa block note, sertifikat, snack, dan map.
“Sertifikat belum kami bagikan, karena sertifikat belum lengkap dan belum semuanya jadi. Karena tadi kelebihan peserta, terlebih peserta  OTS yang sangat banyak, sehingga kami memutuskan untuk memberikan sertifikat tidak pada hari ini, tetapi kami akan memberikan sertifikat itu secepatnya dengan menghubungi peserta,” tutur Indri yang merupakan anggota BEM bidang tiga, minat dan bakat.
“Persiapan dari BEM sendiri sebenarnya dadakan, padahal seminar ini adalah program kerja inti dari bidang dua yaitu bidang pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia. Namun, H-2 minggu baru ada eksekusi,” imbuhnya.

PILIH YANG MANA? JALAN PENUH LUBANG ATAU TAMBALAN YANG TIDAK RATA?

Liza Tri Handayani
A310120232/ 6B
Tugas Jurnalistik Feature


Jika disuruh memilih, apa yang Anda pilih? Jalan penuh lubang atau  tambalan yang tidak rata?
Jika kita akan ke Solo, jalur utama ini menjadi rute pertama yang akan kita pilih, bukan karena kondisi jalannya yang bagus, tetapi kita akan lebih cepat sampai ke tujuan. Saat melintasi jalan Solo-Jogja, tepatnya di desa Karangduren selatan Kopasus, kita pasti sedikit menggerutu. Kontur jalan di daerah ini tidak rata, orang Jawa sering mengatakannya seperti ampyang, yaitu olahan kacang dengan gula aren. Bentuknya yang bergelombang membuat beberapa orang menganalogikan kondisi jalan menyerupai makanan tradisional ini. Selain itu, jalan juga penuh lubang yang menganga. Kedalamannya mencapai lima belas sentimeter. Padahal, beberapa minggu lalu jalan ini baru saja ditambal oleh petugas DPU kabupaten Sukoharjo. Pertanyaannya, bagaimana kualitas tambalannya?
Jalan berlubang, tidak hanya membahayakan, tetapi merugikan setiap orang yang melintasinya. Seringkali, jalan berlubang hanya disiasati dengan menambalnya. Setelah ditambal, jalan memberikan kenyamanan sesaat. Selain tidak membahayakan, juga tidak merusak sparepart motor maupun mobil. Namun, kuantitas memang menjadi hal utama saat menambal jalan, sedangkan kualitas pun seakan dinomorduakan. Jalan tambalan kemudian dihancurkan begitu saja oleh hujan. Akibatnya, jangan ditanya lagi, justru lebih berbahaya daripada jalan berlubang. Kerikil-kerikil bertebaran di jalanan. Tidak jarang pengguna jalan terpeleset saat melintas.
Jalan penuh tambalan memang mengurangi resiko kecelakaan. Namun, manfaat yang diperoleh ternyata hanya seumur jagung. Biaya yang dikeluarkan pun tidaklah sedikit. Tetapi entah mengapa para pengemban amanat justru memilih menambal daripada memperbarui secara keseluruhan. Jika menilik lebih lanjut, bukankah memperbarui jauh memberikan efek jangka panjang yang lebih baik? Biaya yang dikeluarkan pun hampir sama dengan biaya penambalan yang dilakukan secara berulang-ulang. Ditunggu saja, semua ini hanya masalah waktu dan kebijakan yang bermanfaat.