Sabtu, 02 Agustus 2014

Katamu, Pagi....

          Aku termenung, menatap dengan enggan daun-daun yang terusik angin. Mengimajinasikan apa yang samasekali tak ingin aku imajinasikan. Menelisik dengan detail embun di atas dedaunan. Aku membiarkan rambutku terusik oleh angin. Membiarkan angin-angin itu mempermainkan rambut sebahuku. Dari arah timur semburat awan kelabu berbondong-bondong menghampiri langit yang masih tampak biru. Sinar matahari nampaknya turut bersedih. Angin semakin melena, udara sejuk seperti di pegunungan mulai membuat tubuhku menggigil. Perlahan, hujan memberondong datang, kepalaku melongok keluar jendela,  tanganku kuselipkan diantara rintik air yang memburu, saling berebut siapa yang akan jatuh dan luruh pertama kali di bumi. Setahuku, siapapun itu, tak ada yang tak jatuh karena kehendakNya.
       Ruangan tempatku berdiri sepi, hanya ada aku dan beberapa boneka yang sengaja aku letakkan diantara bantal-bantal. Ruangan ini begitu nyaman, disini aku biasa menulis, mengajukan rentetan pertanyaan dalam sebuah wacana yang mungkin akan dijawab oleh setiap pembaca. Hujan semakin memburu bumi, tanganku hampir mati rasa karena kedinginan. Hujan sepertinya tak berhenti datang pagi ini. Tandanya, aku tak bisa menikmati udara di atas bukit pagi ini. Kututup jendela ruangan ini dan mencoba menerawang ke langit-langit sudut ruangan. Berusaha mencari asa yang telah hilang. Berusaha mencari celah agar bisa menulis lagi. Mencarimu, tanpa ada “mu” yang lain, hanya kamu.
          Di luar sana hujan semakin deras, kilat mulai menyambar. Kubuka kembali jendela ruangan ini. Langit menghitam. Hujan ini adalah hujan pertama di bulan Juli. Biarlah para petani menikmati. Meskipun aku menjadi tak bisa menikmati matahari pagi di puncak bukit. Terkadang, pengorbanan sedikit saja mampu membawa berkah bagi banyak orang. Bunga mawar di sudut teras ruangan ini bergoyang di tempatnya, berusaha mengokohkan diri agar tak jatuh. Aku meraihnya dari jendela, melongok meski kepalaku sedikit terguyur air hujan. Ini mawar merah pemberianmu. Bukan dalam bentuk bhuket bunga layaknya sepasang remaja yang sedang jatuh cinta. Akan tetapi, bibit bunga mawar merah kuncup di dalam potnya. Katamu, bunga ini akan membuatku tersenyum setiap pagi. Nyatanya, tak selalu. Kemarin, sekarang, bahkan hari yang akan datang. Aku tak tahu apakah masih bisa tersenyum bila melihat bunga cantik ini. 


Khayalan yang Muncul Tiba-tiba
2 Agustus 2014
8.09 pm