Untuk
kamu yang dulu selalu mengiringi langkah kakiku,
Jangan
tanya mengapa aku menulis ini. Kamu tak perlu bertanya-tanya mengapa. Aku juga
tak ingin mendengar segala interpretasimu tentang surat ini. Hai, layaknya
surat-surat yang dikirimkan untuk seseorang yang penting di hidupnya. Bedanya, mungkin
aku tak lagi menjadi penting di hidupmu.
Apa
kabar? Lama kita tak bersua. Meskipun dulu sekolah kita dekat, bahkan kita
sering menggunakan lapangan olahraga yang sama. Sedangkan kini, aku dan kamu
sama-sama telah di semester 4, melanjutkan apa yang ingin aku dan kamu raih.
Dalam bidang yang berbeda tentunya. Di kota yang tak sama, kamu di kota
kesayanganku, kota yang selalu menjadi angan-anganku dan kamu. Di sana kita
pernah mengukir cerita, stasiun tugu, tempatmu merekatkan genggaman di tanganku.
Menikmati sore pada 1 Juli 2011, menikmati sesaknya stasiun kala itu.
3 tahun
lalu, tepat di tanggal 10 april nanti. Aku selalu ingat, diantara banyak
teman-teman sekolah kamu yang menunggu bus, diantara banyak anak laki-laki
berbaris rapi mengenakan baju pramuka. Kamu memberi kenangan yang indah.
Membuat teman-temanmu bersorak tertawa saat melihatku mengangguk mengiyakan. Pantaskah
itu disebut cinta monyet? Pastinya, saat itu aku mengambil keputusan belum
sematang sekarang. Tapi apa kamu tahu? Aku tak pernah menyesal sedikitpun.
Tuhan memang tak selalu menjanjikan pelangi setelah hujan, tetapi Dia selalu
menjanjikan hujan tak selamanya datang. Itu katamu. Apa kamu ingat? Jika tidak,
kamu tak perlu kembali ke masa lalu untuk mengingatnya.
Aku pun
sebenarnya tak mau mengingatnya, sungguh. Ini hanyalah sekelebat memoriku yang
muncul saat aku ingin menulis ini untukmu. Ku harap kamu bahagia, entah dengan
siapa. Tetapi kudengar, kamu masih menyayanginya, bahkan sekarang kamu
bersamanya. Perempuan yang menjadi alasan mengapa kamu memilih pergi dariku. Kamu
bilang kamu bosan denganku, kamu bilang kita terlalu jauh, kamu juga bilang
bahwa kamu masih menyayanginya. Bahkan kamu lebih dulu menetapkan hati
dengannya sebelum denganku. Apa aku marah? Tidak. Sampai saat ini aku masih
memegang janjiku untuk mau berteman denganmu. Tapi, kamu sendiri yang
memutuskan tak mau berteman denganku bukan? Kamu harus tahu, jika sekarang aku
lebih suka melangkahkan kakiku sendiri. Aku lebih suka menikmati buku di
perpustakaan tanpa teman. Kamu ingat? Kamu yang selalu menemaniku membaca di
salah satu perpustakaan di kotamu itu. Kamu tak pernah bosan menungguku
berjam-jam hanya untuk menghabiskan sebuah novel dari penulis yang aku sukai.
Ah
sudahlah. Aku minta, jangan kamu menganggap suratku ini adalah permohonanku
untuk bisa kembali denganmu. Aku tak pernah berharap demikian. Bukankah kamu
selalu marah jika aku masih mengingatmu? Kamu ingat? Kamu marah dengan temanmu
saat temanmu tak sengaja membuka profil akunku dan disitu kamu menemukan tumpukkan fotomu? Tetapi, kenyataannya aku memang masih menyimpannya. Aku memang sengaja menyimpannya, tak bolehkah aku menyimpannya? Bukan karena aku masih
menyayangimu, tetapi karena aku ingin selalu ingat dengan kebersamaan kita
dulu. Ya, kenyataannya aku dan kamu pernah bersama. Walaupun kamu selalu malu mengakui
kalau aku adalah bagian dari masa lalumu.
Aku
minta maaf, jika apa yang aku tulis membuatmu marah. Kamu tak perlu memakiku,
karena aku akan memaki diriku sendiri jika ini benar membuatmu marah. Aku tahu
diri, bukankah kamu juga selalu mengatakan bahwa kita berbeda?
RAW
Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel Bernard Batubara