Jumat, 05 Desember 2014

REVIEW FILM “REPUBLIK TWITTER” DALAM KAITANNYA DENGAN 9 ELEMEN JURNALISME DAN KODE ETIK JURNALISME

REVIEW  FILM “REPUBLIK TWITTER” DALAM KAITANNYA DENGAN 9 ELEMEN JURNALISME DAN KODE ETIK JURNALISME
Liza Tri Handayani
A310120232/ 5B

Review Film Republik Twitter
Republik Twitter bercerita mengenai Sukmo dan Hanum. Sukmo adalah mahasiswa tingkat akhir dari Jogja, sedangkan Hanum adalah seorang wartawan dari Jakarta. Mereka berdua bertemu di Twitter. Dari sanalah hubungan mereka mulai dekat, bisa dibilang lewat Twitter mereka menjalani fase PDKT. Hanya satu hal yang belum dilakukan, bertemu. Sukmo pun akhirnya rela ke Jakarta bersama teman dekat, Andre. Tapi ternyata, di Jakarta semuanya tidak mudah. Seperti umumnya kasus kopi darat, biasanya ada perasaan minder bila satu pihak lebih baik rupanya. Sukmo yang rajin ngetweet, ditawari kerja di Jakarta sebagai buzzer. Tugas Sukmo adalah mempopulerkan apapun yang diminta klien di Twitter. Kebetulan, Sukmo diminta untuk mempopulerkan seorang pengusaha untuk menjadi trending topic, dengan menyebar informasi baik tentangnya. Hal ini umum disebut sebagai pencitraan di Twitter.
Film ini mengangkat tema yang agak berat, yaitu jurnalistik dan politik, tapi dengan dibalut dengan alur cerita yang renyah dan dibumbui dengan perjuangan cinta yang romantis menjadikan film ini enak ditonton. Pemeran-pemeran dalam film ini cukup bagus dalam membangun cerita.
Film Republik Twitter dalam Kaitannya dengan 9 Elemen Jurnalisme
1.    Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran.
Pada film ini, Hanum yang merupakan seorang wartawan berusaha mencari kebenaran dengan mencari berita sesungguhnya mengenai pencitraan yang dilakukan oleh seorang politikus melalui twitter. Ternyata juga, pencitraan yang dilakukan oleh politikus Arif Cahyadi hanyalah kerjaan seorang buzzer yang dibayar oleh rekan politik Arif Cahyadi yang bernama Kemal.
2.    Loyalitas utama jurnalisme adalah kepada warga negara.
Dalam hal ini Hanum yang merupakan seorang wartawan ingin memberitahu warga Jakarta, bahwa Arif Cahyadi yang ingin menjadi Gubernur hanyalah sebuah pencitraan saja.
3.    Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Saat mengambil berita tentang politikus Arif Cahyadi, Hanum menjadikan Sukmo sebagai narasumber, karena kebetulan Sukmo adalah salah satu buzzer yang mempopulerkan kredibilitas Arif Cahyadi. Selain itu, ternyata teman wartawan Hanum juga mengikuti atau memfollow akun twitter Kemal. Sehingga, ada verifikasi kebenaran berita pada Kemal meskipun tidak dilakukan secara langsung, akan tetapi hal ini sudah cukup. Karena, menurut pimpinan redaksi pada film ini, setidaknya ada dua nama dalam sebuah berita, sehingga berita itu disebut sebagai berita yang layak.
4.    Jurnalis harus menjaga independensi dari objek liputannya
Hanum berusaha menjaga agar Kemal tidak disangkutpautkan pada berita ini, akan tetapi, teman Hanum yang merupakan wartawan juga berusaha mengungkapnya. Padahal, Hanum sudah berjanji pada Sukmo untuk tidak menggunakan nama lain selain Sukmo. Hal ini bisa membahayakan para buzzer tempat dimana Sukmo bekerja. Karena, jika benar berita ini dimuat dalam majalah lini massa, maka Kemal akan marah, dan citranya dalam dunia politikus akan tercemar, begitu juga dengan Arif Cahyadi yang justru sebenarnya tidak tahu apapun.
5.    Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan
Dalam hal ini, peliputan yang dilakukan oleh Hanum menunjukkan bahwa wartawan maupun media massa tidak memihak manapun, hal ini dibuktikan bahwa nama Kemal yang termasuk politikus tetap diberitahukan sesuai dengan fakta yang ada.
6.    Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
Berita yang disampaikan wartawan (Hanum) begitu komprehensif, karena data yang diambil dari narasumber sudah begitu jelas. Muatan yang digunakan dalam berita yang ingin disampaikan Hanum dalam majalah lini massa cukup proporsional dengan perkembangan politik saat ini.
Film  Republik Twitter dalam Kaitannya dengan Kode Etik Jurnalisme
1.    Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Hanum bisa dikatakan sebagai wartawan yang independen, karena mampu menghasilkan berita yang akurat atas bantuan Sukmo. Hal yang dilakukan Hanum samasekali tidak ingin merugikan pihak manapun, tetapi ingin beritikad baik agar masyarakat tahu tentang maraknya pencitraan dalam politik.
2.    Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Hanum berusaha menampilkan berita akurat sebagai hasil pencapaian kariernya. Meskipun ada desakan dari ayahnya agar berhenti menjadi wartawan, akan tetapi Hanum justru menunjukkan keprofesionalannya dalam mengembangkan sebuah berita.
3.    Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Hanum berusaha menampilkan berita yang layak, karena tidak membuat berita bohong, Hanum juga mampu mengungkap kelicikan Kemal dalam berpolitik yang mampu memberikan gambaran masyarakat mengenai dunia politik.
4.    Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Hanum juga berusaha melindungi Sukmo sebagai narasumber agar apabila kasus ini terungkap, Sukmo tetap aman.
5.    Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Sebelum berita dimuat dalam majalah lini massa, Sukmo sebagai narasumber telah memperingatkan agar Kemal tidak tersangkut dalam kasus ini demi keberlangsungan buzzer dan melindungi teman-temannya dari kebangkrutan. Hanum sedah memenuhi hal itu, akan tetapi ternyata teman Hanum yang juga wartawan justru mengungkapnya secara lebih jelas

6.    Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Pada film ini justru berita yang telah dimuat tidak dapat direvisi kembali. Tetap saja itu telah menjadi berita. Pada hal ini Sukmo ternyata tahu bahwa Arif Cahyadi adalah ayah dari Nadia yang merupakan kekasih Andre. Seketika itu Nadia marah dan mengatakan jika ayahnya bukan orang seperti itu (mengutamakan pencitraan). Langsung saja Sukmo menyuruh Hanum untuk membatalkan berita yang akan dimuat, tetapi Hanum mengatakan bahwa hal itu tidak bisa dilakukan.



Jumat, 12 September 2014

TOKOH PERS INDONESIA DJAMALUDDIN ADINEGORO



Nama   : Liza Tri Handayani
NIM    : A310120232
Kelas   : 5B



Adinegoro adalah sastrawan Indonesia dan wartawan kawakan. Ia berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik di Jerman dan Belanda (1926-1930). Nama aslinya adalah Djamaluddin. Tapi, karena tulisannya yang bersifat ilmiah beliau terus menerus menggunakan nama Adinegoro, sehingga nama itu lebih terkenal. Nama Adinegoro adalah nama yang disarankan oleh seorang wartawan yang mempunyai nama samaran Nitinegoro. Nama yang sebenarnya adalah Landjumin Datuk Tumenggung, seorang wartawan Bintang Timoer, anggota volksraad dan juga menjadi patih di Betawi.
          Adinegoro dilahirkan pada tanggal 14 Agustus 1904 di Talawi, Sumatra Barat. Karena dia gemar menulis maka dia dijadikan pembantu tetap di majalah Tjahaja Hindia. Selama perjalanannya di berbagai negara bagian Eropa, beliau rajin mengirimkan artikel-artikelnya ke majalah Pandji Poestaka, Pewarta Deli (Medan), dan Bintang Timoer (Jakarta). Sepulangnya dari Eropa, beliau diangkat menjadi pemred Pandji Poestaka. Selain itu, setelah berhenti pada Pandji Poestaka, beliau memimpin harian Pewarta Deli.
Pada masa penjajahan Jepang, Pewarta Deli terpaksa diberhentikan. Lalu muncullah Sumatera Shimbun yang dipimpin oleh Adinegoro. Dari Sumatera, beliau pindah ke Jawa dan mendirikan majalah Mimbar Indonesia. Majalah tersebut adalah majalah perjuangan yang isinya padat dan bermutu. Setelah proklamasi, Adinegoro diangkat menjadi Ketua Komite Nasional Sumatera. Kemudian beliau mendirikan harian Kedaulatan Rakjat di Bukittinggi. Pada tahun 1951, beliau memimpin Yayasan Persbiro Indonesia dan mendirikan Perguruan Tinggi Publisistik serta Fakultas Publisistik dan Jurnalistik di UNPAD Bandung.

Sabtu, 02 Agustus 2014

Katamu, Pagi....

          Aku termenung, menatap dengan enggan daun-daun yang terusik angin. Mengimajinasikan apa yang samasekali tak ingin aku imajinasikan. Menelisik dengan detail embun di atas dedaunan. Aku membiarkan rambutku terusik oleh angin. Membiarkan angin-angin itu mempermainkan rambut sebahuku. Dari arah timur semburat awan kelabu berbondong-bondong menghampiri langit yang masih tampak biru. Sinar matahari nampaknya turut bersedih. Angin semakin melena, udara sejuk seperti di pegunungan mulai membuat tubuhku menggigil. Perlahan, hujan memberondong datang, kepalaku melongok keluar jendela,  tanganku kuselipkan diantara rintik air yang memburu, saling berebut siapa yang akan jatuh dan luruh pertama kali di bumi. Setahuku, siapapun itu, tak ada yang tak jatuh karena kehendakNya.
       Ruangan tempatku berdiri sepi, hanya ada aku dan beberapa boneka yang sengaja aku letakkan diantara bantal-bantal. Ruangan ini begitu nyaman, disini aku biasa menulis, mengajukan rentetan pertanyaan dalam sebuah wacana yang mungkin akan dijawab oleh setiap pembaca. Hujan semakin memburu bumi, tanganku hampir mati rasa karena kedinginan. Hujan sepertinya tak berhenti datang pagi ini. Tandanya, aku tak bisa menikmati udara di atas bukit pagi ini. Kututup jendela ruangan ini dan mencoba menerawang ke langit-langit sudut ruangan. Berusaha mencari asa yang telah hilang. Berusaha mencari celah agar bisa menulis lagi. Mencarimu, tanpa ada “mu” yang lain, hanya kamu.
          Di luar sana hujan semakin deras, kilat mulai menyambar. Kubuka kembali jendela ruangan ini. Langit menghitam. Hujan ini adalah hujan pertama di bulan Juli. Biarlah para petani menikmati. Meskipun aku menjadi tak bisa menikmati matahari pagi di puncak bukit. Terkadang, pengorbanan sedikit saja mampu membawa berkah bagi banyak orang. Bunga mawar di sudut teras ruangan ini bergoyang di tempatnya, berusaha mengokohkan diri agar tak jatuh. Aku meraihnya dari jendela, melongok meski kepalaku sedikit terguyur air hujan. Ini mawar merah pemberianmu. Bukan dalam bentuk bhuket bunga layaknya sepasang remaja yang sedang jatuh cinta. Akan tetapi, bibit bunga mawar merah kuncup di dalam potnya. Katamu, bunga ini akan membuatku tersenyum setiap pagi. Nyatanya, tak selalu. Kemarin, sekarang, bahkan hari yang akan datang. Aku tak tahu apakah masih bisa tersenyum bila melihat bunga cantik ini. 


Khayalan yang Muncul Tiba-tiba
2 Agustus 2014
8.09 pm

Sabtu, 21 Juni 2014

Apa Ini?????

Kita tidak bisa mengerti, apa yang orang lain pikirkan tentang kita.
Lalu, bagaimana kita bisa tahu? Bertanya, ya benar, kita harus bertanya. Tapi apa resikonya? Jawaban yang menyakitkan, kebohongan, jika sedang beruntung, kita pasti akan mendapatkan jawaban yang jujur.
Lalu bagaimana, apa masih bisa percaya? Entahlah, aku tak pernah tahu. Aku tak pernah bisa menemukan jawaban apa aku masih bisa mempercayainya. Perasaanku selalu mengalahkan logikaku. Ku pikir aku bodoh. Ku pikir aku hanya dipermainkan. Ah, lagi-lagi alasan klasik. Tak mungkin aku dipermainkan jika aku tak menerima permainan itu. Iya bukan. Jadi tak bisa menyalahkannya sepenuhnya. aku pun salah dalam hal ini. Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku tak pernah tahu.

Senin, 31 Maret 2014

SURAT UNTUK MANTAN



Untuk kamu yang dulu selalu mengiringi langkah kakiku,

     Jangan tanya mengapa aku menulis ini. Kamu tak perlu bertanya-tanya mengapa. Aku juga tak ingin mendengar segala interpretasimu tentang surat ini. Hai, layaknya surat-surat yang dikirimkan untuk seseorang yang penting di hidupnya. Bedanya, mungkin aku tak lagi menjadi penting di hidupmu.
     Apa kabar? Lama kita tak bersua. Meskipun dulu sekolah kita dekat, bahkan kita sering menggunakan lapangan olahraga yang sama. Sedangkan kini, aku dan kamu sama-sama telah di semester 4, melanjutkan apa yang ingin aku dan kamu raih. Dalam bidang yang berbeda tentunya. Di kota yang tak sama, kamu di kota kesayanganku, kota yang selalu menjadi angan-anganku dan kamu. Di sana kita pernah mengukir cerita, stasiun tugu, tempatmu merekatkan genggaman di tanganku. Menikmati sore pada 1 Juli 2011, menikmati sesaknya stasiun kala itu.
     3 tahun lalu, tepat di tanggal 10 april nanti. Aku selalu ingat, diantara banyak teman-teman sekolah kamu yang menunggu bus, diantara banyak anak laki-laki berbaris rapi mengenakan baju pramuka. Kamu memberi kenangan yang indah. Membuat teman-temanmu bersorak tertawa saat melihatku mengangguk mengiyakan. Pantaskah itu disebut cinta monyet? Pastinya, saat itu aku mengambil keputusan belum sematang sekarang. Tapi apa kamu tahu? Aku tak pernah menyesal sedikitpun. Tuhan memang tak selalu menjanjikan pelangi setelah hujan, tetapi Dia selalu menjanjikan hujan tak selamanya datang. Itu katamu. Apa kamu ingat? Jika tidak, kamu tak perlu kembali ke masa lalu untuk mengingatnya.
     Aku pun sebenarnya tak mau mengingatnya, sungguh. Ini hanyalah sekelebat memoriku yang muncul saat aku ingin menulis ini untukmu. Ku harap kamu bahagia, entah dengan siapa. Tetapi kudengar, kamu masih menyayanginya, bahkan sekarang kamu bersamanya. Perempuan yang menjadi alasan mengapa kamu memilih pergi dariku. Kamu bilang kamu bosan denganku, kamu bilang kita terlalu jauh, kamu juga bilang bahwa kamu masih menyayanginya. Bahkan kamu lebih dulu menetapkan hati dengannya sebelum denganku. Apa aku marah? Tidak. Sampai saat ini aku masih memegang janjiku untuk mau berteman denganmu. Tapi, kamu sendiri yang memutuskan tak mau berteman denganku bukan? Kamu harus tahu, jika sekarang aku lebih suka melangkahkan kakiku sendiri. Aku lebih suka menikmati buku di perpustakaan tanpa teman. Kamu ingat? Kamu yang selalu menemaniku membaca di salah satu perpustakaan di kotamu itu. Kamu tak pernah bosan menungguku berjam-jam hanya untuk menghabiskan sebuah novel dari penulis yang aku sukai.
     Ah sudahlah. Aku minta, jangan kamu menganggap suratku ini adalah permohonanku untuk bisa kembali denganmu. Aku tak pernah berharap demikian. Bukankah kamu selalu marah jika aku masih mengingatmu? Kamu ingat? Kamu marah dengan temanmu saat temanmu tak sengaja membuka profil  akunku dan disitu kamu menemukan tumpukkan fotomu? Tetapi, kenyataannya aku memang masih menyimpannya. Aku memang sengaja menyimpannya, tak bolehkah aku menyimpannya? Bukan karena aku masih menyayangimu, tetapi karena aku ingin selalu ingat dengan kebersamaan kita dulu. Ya, kenyataannya aku dan kamu pernah bersama. Walaupun kamu selalu malu mengakui kalau aku adalah bagian dari masa lalumu.
     Aku minta maaf, jika apa yang aku tulis membuatmu marah. Kamu tak perlu memakiku, karena aku akan memaki diriku sendiri jika ini benar membuatmu marah. Aku tahu diri, bukankah kamu juga selalu mengatakan bahwa kita berbeda?

RAW

Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel Bernard Batubara