Hari itu, aku hanya merenung, menatap kialauan daun yang dibasahi embun. Mataku menyapu sekelilingnya, beberapa ekor semut berbondong-bondong mengangkut hasil temuannya. Sepagi ini mereka mencari makan. kuhirup udara bersih pinggiran kota yang masih jauh dari polusi. Beberapa meter dari sini terdapat taman yang tak cukup luas, di setiap sudutnya terdapat bangku taman, aku sering menghabiskan waktu disana, hanya untuk menulis atau mencari inspirasi. Nampaknya liburan semesterku erlalu lama, enggan juga untuk pergi berlibur, bukankah disini jauh lebih menyenangkan? Ah, mungkin sekilas aku tak jauh beda dari gadis kota lainnya, hanya saja aku tak suka keramaian. Entah mengapa, keramaian selalu membuatku merasa berputar-putar, dan tiba-tiba semuanya menghitam.
Kita berada di
penghujung Januari, jalanan terlihat basah, selalu basah, entah hanya gerimis,
atau hujan deras sekalipun. Lalu pada siang hari, udara terasa panas. Biarlah alam
yang berkuasa. Namun, seberkuasanya alam, tetap saja ada yang lebih berkuasa
daripadanya. Sepagi ini matahari tak juga memberi tanda untuk menaklukkan hari,
yang terlihat hanya biasnya saja, langit terlihat biru, meskipun beberapa awan
hitam menggantung di sudut timur. Aku tak pernah memiliki teman, mereka
menganggap aku orang yang aneh. Aku pun tak suka bergaul, hanya saja bila di
rumah aku memiliki beberapa teman yang kebetulan menjadi temanku sejak kecil. Aku
selalu tak percaya bahwa sahabat itu ada, bagiku sahabat terbaik hanyalah doa,
meskipun tak pernah berjanji untuk selalu mengatakan “iya”, tetapi doa tak
pernah berbohong, tak pernah berdusta, dan tak pernah menyakiti. Angin pagi
mulai mengacau jendela ruangan ini, menerbangkan beberapa kertas lipat yang
akan kubuat menjadi bintang kertas. Aku suka melakukan hal-hal yang kurasa itu
tak penting apabila dipandang orang lain. Tetapi membuatku senang, setidaknya
ada sebuah hiburan sembari menunggu 1 bulan masa liburanku yang membosankan. Setiap
pagi, dari jendela ruangan serba merah muda ini, aku melihat anak-anak sekolah,
entah yang berjalan kaki, mengayuh sepeda, bahkan naik sepeda motor. Terkadang aku
melihat sepasang remaja berangkat sekolah sembari bergandengan tangan,
nampaknya sepasang cinta monyet yang hangat-hangatnya memadu kasih. Aku selalu tersenyum
saat melihat mereka. Seperti pagi ini, hujan yang tak terduga membuat sepasang
kekasih itu menyisir tempat untuk berteduh, tepat di depan rumahku. Semut-semut
yang sedari tadi sibuk mencari makan pun berhenti, daun yang dijadikannya
tempat berteduh bergoyang-goyang tak tentu arah. Beberapa anak sekolah dasar
mengayuh sepedanya sekencang mungkin, membuat seragam merah putih itu penuh
percikan air hujan. Beberapa orang yang berteduh di pinggiran toko berseru
kencang menyuruh anak-anak itu untuk berhati-hati.
Aku kembali menatap
sepasang remaja yang berada di emperan toko di depan rumahku. Terlihat si
lelaki memberikan jaket yang dikenakannya kepada si perempuan. Senyum mengembang
dari keduanya. Hujan semakin deras. Padahal hari tak pernah berhenti berputar. Aku
melongok jam dinding yang menggantung di sudut ruanganku ini. Tepat pukul 7,
tentu sepasang remaja yang memadu kasih itu akan terlambat untuk berangkat
sekolah. Mungkin, gurunya akan memberi dispensasi karena alasan hujan. Kedua remaja
itu akhirnya nekat menembus hujan, menjinjing sepatu masing-masing, dan
berharap hujan segera menyudahi kedatangannya. Benar saja, sesaat mulai reda, karyawan-karyawan
kantor kembali mengendarai motor dan menebas gerimis kecil. Aku mulai menutup
jendela ruanganku, udara terasa dingin. Tapi tak sedingin kisah cinta sepasang
remaja tadi. Ah, masa muda memang tak akan datang dua kali, tetapi aku selalu
menghabiskan waktuku untuk sendiri. Namun, aku sering bertanya, bukankah ini
menyenangkan? Ya teramat menyenangkan. Aku lebih suka menunggu yang pasti. Tetapi
sampai kapan aku menunggu? Pertanyaan itu pernah terlontar dari seorang teman,
biarlah waktu yang menjawab. Bukankah cinta itu tak perlu dipaksakan datang dan
perginya? Bukankah cinta itu akan datang jika sudah tiba waktunya? Bukankah
kita hanya perlu bersabar? Jika ada yang mengatakan aku kesepian, aku hanya
akan tersenyum untuk menjawabnya, lalu aku kembali bertanya, bukankah hidup ini
memang untuk sendiri? Aku tidak pernah kesepian, selagi masih ada harapan,
orang tua, dan semua doa-doa. Aku juga tidak pernah merasa sendiri, mungkin
memang terlihat aku sendiri, tetapi tidak. Aku menikmati hidupku, aku tidak
sekesepian itu.
Jum’at, 30
Januari 2015
1.15 pm
Teruntuk yang
lelah merasa sepi, yakinlah ini sangat menyenangkan :)