Senin, 31 Maret 2014

SURAT UNTUK MANTAN



Untuk kamu yang dulu selalu mengiringi langkah kakiku,

     Jangan tanya mengapa aku menulis ini. Kamu tak perlu bertanya-tanya mengapa. Aku juga tak ingin mendengar segala interpretasimu tentang surat ini. Hai, layaknya surat-surat yang dikirimkan untuk seseorang yang penting di hidupnya. Bedanya, mungkin aku tak lagi menjadi penting di hidupmu.
     Apa kabar? Lama kita tak bersua. Meskipun dulu sekolah kita dekat, bahkan kita sering menggunakan lapangan olahraga yang sama. Sedangkan kini, aku dan kamu sama-sama telah di semester 4, melanjutkan apa yang ingin aku dan kamu raih. Dalam bidang yang berbeda tentunya. Di kota yang tak sama, kamu di kota kesayanganku, kota yang selalu menjadi angan-anganku dan kamu. Di sana kita pernah mengukir cerita, stasiun tugu, tempatmu merekatkan genggaman di tanganku. Menikmati sore pada 1 Juli 2011, menikmati sesaknya stasiun kala itu.
     3 tahun lalu, tepat di tanggal 10 april nanti. Aku selalu ingat, diantara banyak teman-teman sekolah kamu yang menunggu bus, diantara banyak anak laki-laki berbaris rapi mengenakan baju pramuka. Kamu memberi kenangan yang indah. Membuat teman-temanmu bersorak tertawa saat melihatku mengangguk mengiyakan. Pantaskah itu disebut cinta monyet? Pastinya, saat itu aku mengambil keputusan belum sematang sekarang. Tapi apa kamu tahu? Aku tak pernah menyesal sedikitpun. Tuhan memang tak selalu menjanjikan pelangi setelah hujan, tetapi Dia selalu menjanjikan hujan tak selamanya datang. Itu katamu. Apa kamu ingat? Jika tidak, kamu tak perlu kembali ke masa lalu untuk mengingatnya.
     Aku pun sebenarnya tak mau mengingatnya, sungguh. Ini hanyalah sekelebat memoriku yang muncul saat aku ingin menulis ini untukmu. Ku harap kamu bahagia, entah dengan siapa. Tetapi kudengar, kamu masih menyayanginya, bahkan sekarang kamu bersamanya. Perempuan yang menjadi alasan mengapa kamu memilih pergi dariku. Kamu bilang kamu bosan denganku, kamu bilang kita terlalu jauh, kamu juga bilang bahwa kamu masih menyayanginya. Bahkan kamu lebih dulu menetapkan hati dengannya sebelum denganku. Apa aku marah? Tidak. Sampai saat ini aku masih memegang janjiku untuk mau berteman denganmu. Tapi, kamu sendiri yang memutuskan tak mau berteman denganku bukan? Kamu harus tahu, jika sekarang aku lebih suka melangkahkan kakiku sendiri. Aku lebih suka menikmati buku di perpustakaan tanpa teman. Kamu ingat? Kamu yang selalu menemaniku membaca di salah satu perpustakaan di kotamu itu. Kamu tak pernah bosan menungguku berjam-jam hanya untuk menghabiskan sebuah novel dari penulis yang aku sukai.
     Ah sudahlah. Aku minta, jangan kamu menganggap suratku ini adalah permohonanku untuk bisa kembali denganmu. Aku tak pernah berharap demikian. Bukankah kamu selalu marah jika aku masih mengingatmu? Kamu ingat? Kamu marah dengan temanmu saat temanmu tak sengaja membuka profil  akunku dan disitu kamu menemukan tumpukkan fotomu? Tetapi, kenyataannya aku memang masih menyimpannya. Aku memang sengaja menyimpannya, tak bolehkah aku menyimpannya? Bukan karena aku masih menyayangimu, tetapi karena aku ingin selalu ingat dengan kebersamaan kita dulu. Ya, kenyataannya aku dan kamu pernah bersama. Walaupun kamu selalu malu mengakui kalau aku adalah bagian dari masa lalumu.
     Aku minta maaf, jika apa yang aku tulis membuatmu marah. Kamu tak perlu memakiku, karena aku akan memaki diriku sendiri jika ini benar membuatmu marah. Aku tahu diri, bukankah kamu juga selalu mengatakan bahwa kita berbeda?

RAW

Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel Bernard Batubara


Tidak ada komentar:

Posting Komentar