Langit penuh lampion, ya hari
ini perayaan imlek di kotaku, langit dipenuhi ribuan lampion yang diterbangkan
oleh anak-anak remaja keturunan Tionghoa. Beberapa detik lalu aku bersamanya.
Harusnya malam ini menjadi malam yang indah juga buatku. Harusnya, tetapi semua tak seperti seharusnya. Tawa riuh menggema seiring lampion itu menjauh
dari jangkauan tangan anak-anak itu. Tepuk tangan juga bergemuruh, langit
seakan memihak. Hujan yang diperkirakan akan menghiasi pesta lampion ini tak
kunjung datang. Digantikan dengan bulan sabit dan bintang-bintang yang
gemerlap. Tetapi suasana begitu berbeda disini, tak jauh dari tempat perayaan
pesta lampion, di sudut kursi taman Sambargini di bawah pohon akasia. Taman
yang cukup terkenal di kotaku. Malam ini taman sepi, semua orang ikut
menghadiri perayaan pesta lampion itu (mungkin).
Aku sering kesini, menghabiskan waktu
senggang, sembari membaca buku di pojok taman kala pagi, seringkali aku
memotret suasana disini. Mengajar anak-anak jalanan yang putus sekolah. Bila
malam aku juga sering menghabiskan waktuku dengan teman-teman kampus, walau
hanya sekedar membakar jagung, atau sekedar nongkrong. Taman ini luas, banyak
pohon akasia tumbuh, pohon yang sekarang mulai jarang aku temui. Entahlah,
mengapa pohon-pohon itu ditebang. Bahkan di daerah tempat tinggalku pohon itu
dimusnahkan.
Kembali dengan aku mengapa malam
ini disini, di saat semua tertawa melihat ribuan lampion terbang, aku duduk
termenung, setitik air mata jatuh dari kelopak mataku. Angin semakin mendesah.
Isakkanku terasa seperti alunan lagu kesedihan. Ada sebuah penyesalan, tapi
untuk apa semua disesalkan? Bukankah hidup penuh dengan pilihan? Dan sekarang
aku memilih ini, terduduk di bangku taman di bawah pohon akasia dengan sepi.
Aku memang sedih. Tapi aku bahagia.
*
Pagi itu kami bertemu, aku dan
Mas Adit. Mas Adit, laki-laki yang dikagumi semua perempuan di kampus, tinggi,
tampan, berkharisma, sholeh, dan tentu saja cerdas. Aku menyukai laki-laki
cerdas. Hanya sebatas menyukai. Kami dipertemukan di sebuah acara kampus kali
ini, walaupun aku telah cukup lama mengenalnya. Hanya saja mas Adit yang sudah
di semester 7 dan aku yang masih di semester 3, sehingga jarang bertemu.
Meskipun aku dan Mas Adit satu UKM di FOGRA, UKM fotografi di kampusku.
“Kok duduk sendirian dek?” Kata
mas Adit sembari memotret suasana taman. Aku duduk di pojok taman kampus
sembari melihat teman-teman yang istirahat untuk makan pada acara pameran foto
di taman kampus.
“Iya mas, yang lain baru pada
ngambil makan”. Kataku sembari menunjuk teman-temanku yang berdesakan mengambil
makanan yang disediakan panitia.
“Kamu ga makan?” Mas Adit kini
duduk di sampingku, sembari membuka foto-foto hasil jepretannya pada pameran
foto tadi.
“Endak
mas.” Jawabku singkat
Teman-temanku yang selesai
mengambil makan menunjuk-nunjuk ke arahku, tertawa genit, Lila nampak cemberut.
Anak itu terkadang memang aneh.
“Cie
Hesty sama Mas Adit di pojokkan berdua.” Teman-temanku tiba-tiba mengagetkan.
Mas Adit tertawa, ku lihat gingsulnya menyembul diantara
gigi-giginya yang rapi. Mas Adit hanya tersenyum, lalu beranjak pergi.
“Duluan
semua”. Katanya sambil melambaikan tangan.
Kini aku yang melihat mas Adit
dari kejauhan. Melihat sosok itu, ya aku telah lama mengaguminya. Hanya sebatas
kagum. Hanya sebatas kagum karena mas Adit cerdas, di semester 7-nya sekarang
mas Adit sudah akan wisuda bulan Mei nanti. Aku tak pernah tahu apakah mas Adit
sudah memiliki kekasih. Aku tak peduli, aku kan hanya sebatas kagum. Ya, aku
hanya tahu aku hanya sebatas kagum. Tetapi ternyata banyak yang tidak aku tahu
di balik yang aku tahu. Mana bisa seorang manusia mengubah takdir. Walau pada
kenyataannya takdir ada yang bisa diubah jika manusia mau berusaha dan berdoa.
Tapi siapa yang tahu kalau kagum itu kini berubah menjadi sebuah rasa yang
berbeda ketika bertemu dengan Mas Adit. Bukan kagum lagi. Tapi entah itu apa
aku tak pernah tahu. Bahkan kapan berubahnya rasa itu aku tak pernah tahu, aku
hanya sesekali memandanginya saat di dalam sebuah forum. Aku hanya tak sengaja
menangkap wajahnya ketika tersenyum. Aku hanya mencuri-curi untuk memotretnya
saat di event-event fotografi. Hanya
itu. Tapi siapa tahu, jika semua menjadi lebih dari itu.
Pagi itu di kampus mas Adit
menyapaku, aku sempat kebingungan mencari sumber datangnya suara. Putri juga sibuk celingukan mencari siapa yang memanggilku.
“Hesti.”
Sapanya sembari tersenyum menampakkan gingsulnya.
“Iya
mas.” Aku menemukan mas Adit di belakangku
“Nanti
malam ke taman Sambargini yuk, hunting,
lagi ada event lho. Pesta kembang api
gitu.”
“Emmm, gimana ya mas.” Putri
menyikutku, menginjak jari-jari kakiku. Matanya melotot. Aku kebingungan.
Berulang kali aku mengernyitkan dahiku. Sementara mas Adit menunggu
persetujuanku untuk mau atau tidak pergi dengannya untuk hunting foto malam nanti.
“Iya mas iya, Hesti bisa kok.
Tadi dia juga bilang kalau mau ke taman itu mas, ya gitu.” Putri tiba-tiba
mengiyakan.
“Okedeh, sampai jumpa nanti ya
Hes?” seperti biasa, mas Adit melambaikan tangannya sembari tersenyum.
Sejak detik itu aku marah dengan
Putri, sebenarnya tidak seperti marah dalam arti yang sesungguhnya. Aku hanya
sebal saat Putri tiba-tiba mengiyakan ajakan mas Adit tanpa meminta pertimbangan dariku. Walau sebenarnya aku
juga senang. Namun, bukan senang seperti yang dirasakan saat orang-orang sedang
jatuh cinta. Hanya sebatas senang, hanya itu. Sejak satu tahun lalu mengenal
mas Adit, kami memang hanya sebatas seperti ini. Hanya sebatas teman hunting foto. Teman sharing saat tugas-tugas
kuliahku menumpuk. Teman satu forum fotografi, tak lebih dari itu. Aku juga tak
pernah menginginkan menjadi lebih antara aku dengan mas Adit. Bukankah ini
semua hanya sebatas pertemanan? Yang tidak perlu membutuhkan sesuatu yang
lebih, yang tak perlu sebuah rasa yang lebih untuk bisa menerima satu sama lain.
Tapi pada kenyataannya pertemanan ini menjadi lebih dari sekedar pertemanan.
Menjadi lebih dari sekedar teman forum, dan menjadi lebih ketika semuanya
menjadi rasa, antara keduanya. Bukan hanya aku, tapi juga mas Adit.
“Bagus ya tadi Hes, coba aku
lihat jepretan kamu.” Tangan mas Adit menengadah meminta kameraku. Kameranya
jauh lebih canggih daripada kameraku. Tentu saja jepretannya lebih sip daripada jepretanku. Tapi mas Adit
pernah bilang “Sebagus-bagusnya kamera kalau yang memakai g bisa ya hasilnya jelek
Hes.” Iya, itu yang pernah mas Adit katakan untuk memujiku.
“Hesss……
ngalamun?” tangan mas Adit di lambai-lambaikan di depan wajahku.
“Eh iya mas, ini.” Aku tersenyum
mengulurkan kameraku, sembari menatap wajahnya yang tersenyum melihat hasil
jepretanku yang kebanyakan kurang fokus pada objek yang akan kuambil.
“Bagus,
bagus Hes. Lama-lama jepretanku kalah deh sama jepretan kamu.”
“Mana
ada, yang ada punya mas yang keren, coba aku lihat jepretannya mas Adit.”
Sembari memesan wedang ronde, aku asik membuka foto-foto
hasil jepretan mas Adit. Sedangkan mas Adit juga sibuk melihat foto-foto hasil
jepretanku. Terdapat banyak foto yang mungkin belum mas Adit pindahkan di
laptop. Sampai aku menemukan tumpukkan foto-fotoku. Foto-fotoku yang jelas
diambil secara sembunyi-sembunyi. Saat aku sedang duduk di depan ruang dosen,
saat aku duduk di pojok taman saat pameran foto, dan saat rapat forum. Ada juga
fotoku saat memotret Putri di taman Sambargini dan fotoku saat ketiduran
di ruang UKM FOGRA.
“Ini Hes, foto-foto kamu bagus.
Kamu suka ya ngambil objek dari bawah, jadi ngebuat objeknya unik, fokus
banget”. Mas Adit panjang lebar memuji jepretanku, sementara aku masih sibuk
melihat foto-fotoku yang banyak di kameranya. “Hes, liat apasih?” Mas Adit
melongok kameranya. Cepat-cepat dia mengambil kameranya dari tanganku.
“Mas Adit, tadi itu…….” Aku
setengah takut melihat mas Adit, lebih tepatnya tak berani melihat wajahnya,
apalagi melihat matanya.
“Tadi apa Hes?” mas Adit
tersenyum, senyum yang teduh, lagi-lagi menampakkan kedua gingsul kanan-kirinya. Manis sekali. Entah rasa itu mulai tumbuh
darimana, malam ini mas Adit tampak berbeda.
“Tadi itu mas?” Aku masih belum
berani mendongakkan wajahku, aku melihat anak-anak yang masih ramai memainkan
kembang api, tampak riang, tampak gembira. Mungkin sekarang rasaku seperti itu.
“Sama kan kayak punya kamu.”
Kali ini mas Adit memperlihatkan foto-fotonya yang ada di kameraku. Aku malu,
sungguh, ini hanya sekedar iseng. Foto-foto mas Adit yang kuambil saat mencuri-curi
waktu itu hanya iseng, tak bermaksud apapun.
“Hiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii……………….”
Aku hanya tersenyum, tak tahu lagi apa yang harus kukatakan, Aku malu.
“Dasar Hesti.” Mas Adit
mengacak-acak rambutku, dia tertawa. Aku mulai berani mendongak sedikit. Tanpa
kata apapun. Hanya sebatas tersenyum dan tertawa, rasa malu, takut. Tapi aku
tak pernah menyadari jika semua ini mulai tumbuh, dari situ, dari sebuah foto
yang ada dalam kamera yang bukan pemiliknya. Dari senyum manis itu, aku mulai
tahu apa itu rasa suka. Dari tawa itu aku mulai tahu rasanya ingin selalu dekat
dengan seseorang.
*
Sakit ketika aku menatap
punggungnya menjauh, tak melihatku lagi. Aku tak menyuruhnya pergi. Aku hanya
tak mau menjadi orang yang jahat. Bahagia di atas sakitnya hati perempuan lain.
Jangan tanya apa rasaku dengan mas Adit sudah hilang? Tentu tidak, rasa itu
masih ada. Sama saat foto-foto itu diketahui masing-masing berada dalam kamera
yang bukan pemiliknya. Sama saat aku dan mas Adit berdua menikmati kembang api
malam itu. Takkan berubah. Bukannya takkan, mungkin lebih tepatnya belum
berubah. Sama seperti tunas-tunas rasa itu tumbuh. Sama seperti senyum teduhnya
yang banyak membuatku untuk selalu ingin dekat dengan mas Adit. Ya, sama
seperti itu. Tapi jika ini tak kulakukan aku hanya akan menjadi perempuan yang
sia-sia, menjadi perempuan yang menyakiti orang lain. Bagaimana bisa mas Adit
meninggalkan (mantan) kekasihnya dan malam ini kembali ke kota ini hanya untuk
menemuiku, mengatakan bahwa mas Adit menyayangiku, mengatakan bahwa mas Adit
kecewa tak pernah bilang rasa itu daridulu. Menyadari bahwa dia tak bahagia
dengan kekasihnya karena terus mengingat aku. Tapi bagaimana aku bisa
menerimanya dengan alasan yang tak masuk akal itu? Lalu dimana dia pergi selama
dua setengah tahun ini? Kemana janjinya saat akan datang menemuiku dua kali dalam satu tahun? Menghilang? Tanpa
kabar, tanpa apapun, lupakah dia? Lalu tiba-tiba sekarang dia datang dengan
alasan tak masuk akal itu, dengan kekecewaannya terhadap perasaannya, terhadap
rasa sesal tak menyatakan rasa yang sesungguhnya sedari dulu. Bukan hanya mas
Adit yang terluka malam ini. Tapi aku jauh lebih terluka. Aku yang harus melupakan sosok yang
mengajarkan aku arti rasa yang sesungguhnya melalui senyumannya. Mencarinya yang
tak kunjung kutemukan selama dua tahun ini. Lalu tiba-tiba dia datang di sebuah
sosial media, menanyakan kabar, menanyakan dengan siapa aku sekarang,
menanyakan banyak hal tentang aku. Haruskah aku bahagia? Sedih? Ketika saat itu
juga dia selalu mengunggah foto-foto kemesraannya dengan kekasihnya, haruskah
aku senang? Atau justru sebaliknya? Aku tak mengerti. Jujur, aku senang saat
mas Adit datang, bahagia, tapi aku kecewa karena semua tak bisa seperti dulu
lagi. Seperti ada tembok yang menghalangi kebahagiaanku.
*
Sejak kejadian di taman
Sambargini itu mas Adit menjadi lebih sering hunting foto bersamaku, menjadi lebih sering bertemu. Entah hanya
untuk sekedar makan ataupun mengajari tugas-tugas kuliahku. Lalu bagaimana
dengan rasa itu? Sungguh, aku menikmatinya. Aku mulai menata rasa itu,
merapikannya di tempat yang aku sebut taman langit. Ya seperti di
dongeng-dongeng semasa aku masih kecil, taman langit selalu identik dengan
keindahan, taman bunga bertebaran dimana-mana, pelangi yang tampak sepanjang
tahun, birunya langit, dan peri-peri kecil seperti dandelion dan tinkerbell. Aku
menempatkannya di tempat yang indah, di tempat yang baik. Tempat yang khusus kupersiapkan untuk seseorang yang mampu membuatku tersenyum, tempat yang khusus
kupersiapkan untuk seseorang yang bisa membuatku teduh saat melihat
senyumannya, ya aku menemukannya. Dalam keragu-raguan ini aku mulai berani
memutuskan. Taman langit ini untuk dia, untuk mas Adit. Meskipun tanpa kata
sayang, meskipun tanpa sebuah kalimat aku cinta kamu. Tapi caranya melihat
mataku, aku tahu. Aku tahu mas Adit bisa menjagaku.
Pagi itu kutemukan mas Adit di
sudut kantin. Dia asik ngobrol dengan teman-temannya. Namun seketika
menghampiriku yang baru saja ingin memesan soto untuk makan siang. Putri hari
ini tak menemaniku makan. Setelah jam ke 5-6 berakhir Putri memutuskan untuk
bolos kuliah karena pengen main dengan pacarnya, Rendy.
“Hes, ga kuliah?” Tanyanya
sembari tersenyum.
“Endak mas, nanti siang jam 1.
Makan dulu, laper banget.” Kataku sembari memegangi perutku yang memang sangat
kelaparan.
“Oh….. gabung yuk Hes, nanti
disana aja.” Mas Adit tersenyum sambil menunjuk gerombolan teman-temannya yang
memberikan senyum untukku. Aku tersenyum mengiyakan, aku mengikuti langkah kaki
mas Adit menuju meja pojok yang menjadi tempat favorit mas Adit dan
teman-temannya.
“Hai Hesti…” mas Evan tersenyum
menjabat tanganku, dia teman mas Adit yang paling akrab. Temanku di FOGRA juga.
“Hei mas Evan…” Aku tak lupa
menjabat tangan teman-teman mas Adit satu persatu.
Fitria perempuan satu-satunya
diantara mereka yang duduk di hadapanku menyikut tangan mas Adit yang kebetulan
duduk di hadapanku juga. Mata Fitria mengarah ke aku. Sembari tersenyum mas
Adit tak menghiraukan godaan Fitria.
“Cie Adit, ngomong dong sama
Hesti, jangan cuma diem.” Fitria mulai memecah keheningan diantara bibir-bibir
yang sedari tadi menyunggingkan senyum untukku.
“Ngomong apa Fit?” mas Evan nampak kebingungan.
“Alah itu lho Van itu.” Mata
Fitria menyipit ke arahku, aku tersenyum melihat tingkah genk aneh ini.
“Ohhh…. Itu.” mas Evan mengangguk
mengerti, aku tak menghiraukan gurauan mereka.
“Apaan sih kalian, huuuuuuuuuu.”
Mas Adit berseru sambil menoyor kepala Evan dan Fitria.
“Mas Adit, mbak Fitria sama mas
Evan ga makan?” aku mencoba menawarkan makan untuk mereka saat pesananku
datang.
“Ga ah, udah kenyang, kamu aja
dek Hesti.” mas Evan menjawab cekikikan sembari menyikut tangan mas Adit. Mas Adit
hanya tersenyum, lagi-lagi senyum teduh itu disunggingkannya untukku. Aku
membalasnya dengan senyum simpul.
*
Hari ini mas Adit wisuda, tepat
3,5 tahun untuk menjadi seorang sarjana komunikasi. Aku diundang untuk
menghadiri. Walaupun aku tak boleh masuk dan hanya duduk menunggu sampai acara
selesai. Ya, undangan memang hanya diberikan untuk dua orang saja yaitu orang
tua mas Adit. Tetapi tadi pagi aku sempat bertemu mas Adit dengan jas
hitam yang dia kenakan. Tampan sekali. Tempat yang kupersiapkan seakan semakin
kuperindah dengan pembenaran-pembenaranku. Walaupun tak pernah ku ungkapkan dan
tak pernah ku ceritakan dengan siapapun. Tak juga dengan Putri, aku menyimpannya
rapat-rapat, dalam diam, dalam kagum, dalam rasa yang tumbuh daun-daunnya,
memang belum berbunga, tapi setelah daun-daun itu tumbuh akan tumbuh bunga juga
bukan? Seperti bunga mawar yang aku tanam di pot di depan kamarku. Daun-daun
baru mulai tumbuh, lalu bunga yang memiliki dua warna itu juga akan tumbuh
setelah itu.
“Selamat ya mas, selamat dengan
nama baru dengan embel-embel Sarjana, selamat karena lulus dengan prestasi yang
membanggakan, cumlaude”. Aku menjabat
tangan mas Adit, memberikannya bunga mawar merah dan putih yang aku petik dari
bunga-bunga yang aku tanam dalam pot di depan kamarku. Aku membungkusnya dengan
plastik hias, membentuk sebuah bhuket yang indah.
“Terimakasih adek.” Katanya
sembari mengacak-acak rambutku, tersenyum, menatapku lekat. Dan tak kuduga mas
Adit memelukku. Membisikkan kalimat itu “Mas mulai besok pasti udah mulai
jarang ke kampus, jarang nemenin Hesti ke FOGRA lagi, jarang nemenin Hesti hunting, jarang nemenin Hesti ngerjain
tugas. Dan yang pasti jarang buat nyuri-nyuri gambar Hesti lewat kamera mas.
Tapi jangan sungkan ya Hes buat main-main ke rumah, ada Om ada Tante. Mas besok
mau kerja ke Jakarta, Hesti pasti udah tahu kan kalau mas ketrima di perusahaan
asing itu? Itu impian mas Hes, buat bekal hari esok, buat bangun rumah, buat
bangun keluarga. Bisa jadi sama Hesti.”
Aku tercengang, aku ingin
menangis, ya tapi aku malu dengan kedua orang tua mas Adit yang berdiri sambil
tersenyum di belakang mas Adit, di hadapanku. Sesak, rasanya sesak. Akan jarang
bertemu dengan mas Adit, akan jarang pula hunting
foto bareng mas Adit dan yang pasti aku akan sangat merindukan senyumnya yang
teduh, yang menemaniku di sudut kampus. Mas Adit melepaskan pelukanku, aku
melihat matanya berkaca-kaca, entah apa yang dirasakan sosok indah itu, entah
apa yang sebenarnya hatinya ingin katakan. Entah apa aku mengerti maksud dari
semua perkataannya. Entah, aku berlari di dalam pikiranku sendiri,
berputar-putar, hingga kudapati mas Adit tersenyum. Menghapus air mata dari
mata kananku yang aku sendiri tak pernah menyadari kalau aku menangis. Aku
membalas senyumnya.
“Mas jadi ambil pekerjaan itu?,
kapan berangkatnya?” Kataku memecahkan suasana hening beberapa detik lalu.
“Jadi Hes, besok pagi-pagi
sekali jam 5.” Senyumnya lagi-lagi membuatku mulai merasa rindu, karena akan
jarang kudapati senyum indah itu.
“Berapa lama disana mas?” aku
bertanya penuh selidik.
“2 tahun, tapi mas bakalan
sering-sering kesini kok, mungkin satu tahun dua kali. Karena mungkin mas
bakalan disibukkan dengan pekerjaan itu Hes.” Tangannya mengacak-acak rambutku,
senyumnya mengembang.
“Iya mas, kalau kesini
sering-sering ajak aku ke Sambargini lagi ya?”
“Pasti Hesti”.
*
Sudah satu tahun sejak mas Adit
pergi, tetapi tak kunjung ada cerita tentangnya, kabar, telepon, bahkan surat
pun tak ada. Ah, apa kuasaku? Aku bukan siapa-siapanya. Barangkali aku terlalu
sering membuat pembenaran sendiri dengan perasaanku yang mulai tumbuh saat itu.
Dan kini pohon yang tumbuh itu telah memiliki bunga, bunga-bunga yang
berwarna-warni. Tapi tak pernah disiram pemiliknya. Taman langit seakan cemas, kalut. Kemudian ragu itu
muncul. Salahkah aku memilih menetapkan sebuah hati? Salahkah aku
menyayanginya? Menyayangi mas Adit. Nampaknya memang salah. Malam ini aku
menangis, tangisan yang berbeda dari satu tahun lalu. Aku benar-benar mulai
merasakan rindu, mulai merasakan senyuman teduh itu lama-lama menjadi gersang,
tak tersentuh. Aku banyak menghabiskan waktuku di FOGRA, setidaknya disana aku
masih bisa bertemu dengan jejak kerinduan mas Adit. Apa dia juga merasakan hal
yang sama denganku? Entahlah aku tak mengerti. Sekarang aku sudah semester 5
akhir, hampir semester 6. Tapi kabar keberadaannya pun aku tak tahu. Setahuku
saat aku ke rumah mas Adit, om dan tante sudah memutuskan pindah. Ah sudahlah,
semua ini menambah runyam bunga-bunga yang mulai tumbuh dengan suburnya.
Aku menjalani hidup seperti
biasa. Namun, seakan semua tak biasa, berbeda. Meskipun Putri masih selalu
setia menemani. Tetapi semua terasa berbeda. Semua terasa asing. Sungguh, aku
tak pernah menginginkan ini terjadi. Aku sering melamun dan Putri memarahiku.
Tiba-tiba aku merindukan ibu, ya disaat seperti ini ibu memang selalu
menasehatiku, menenangkanku. Tetapi ibu sudah bahagia disana, aku yakin ibu
bahagia di surga. Kini Sambargini menjadi tempat favoritku, sebenarnya bukan
hanya kini, tetapi sejak dulu. Aku mulai menyibukkan diri. Mengajar anak-anak
jalanan di taman Sambargini sepulang kuliah. Aku sering menjadikan mereka objek
fotografiku. Semua ini membuatku sedikit lupa dengan kesedihanku setahun ini.
Ya, melihat anak-anak itu tersenyum cukup bagiku.
Waktu berputar seperti ilmuku
yang aku curahkan untuk anak-anak didikku. Putri selalu menjadi partner terbaik saat aku mengajar
mereka. Bahkan Putri yang orang tuanya memiliki usaha catering selalu
menyediakan makanan untuk anak-anak itu. Mereka menjadi semakin bersemangat
untuk belajar, sungguh aku bahagia melihat senyum mereka. Tahun ini adalah tahun
kedua setelah mas Adit pergi. Aku tak melupakannya, aku hanya mencari
kesibukkan agar aku tak menjadi sedih karena terus memikirkannya. Barangkali
mas Adit benar-benar sibuk dua tahun ini. Akan tetapi, malam ini pembenaranku
menjadi salah, pembenaran memang salah jika itu memang bukan yang sebenarnya.
Seperti biasa setiap malam aku online. Aku membuka emailku. Aku terkejut,
banyak kutemukan email dari mas Adit, satu minggu yang lalu lebih tepatnya. Aku
senang, sungguh, ini lebih dari bahagia. Dia meminta nomorku, menelponku. Malam
ini banyak yang mas Adit ceritakan, tapi bukan tentang aku dan dia. Tentang
perempuan lain yang mas Adit sebut sebagai kekasih. Seketika aku mengurungkan
kebahagiaanku karena tahu bahwa mas Adit baik-baik saja. Kata-katanya sewaktu
wisuda itu menguar “Bisa jadi sama Hesti”. Aku tak bisa konsentrasi apa yang
sedang mas Adit bicarakan, aku tak bisa mendengar suaranya dengan jelas.
Gemuruh bunga-bunga yang tumbuh
mulai berguguran. Jatuh, kemudian layu. Aku tersenyum, tapi saat itu juga aku
menangis. Sampai mas Adit menutup teleponnya pun aku masih tak bisa mendengar
suara mas Adit secara jelas. Bukan karena aku mulai tuli, tapi gemuruh
bunga-bunga itu yang terus berguguran dengan cepat. Tidak, aku tidak
membencinya. Aku bahagia mendengar samar-samar tiap helai kalimat yang mas Adit
ucapkan “Hes, dia cantik, sama kayak kamu, aku sangat menyayanginya”, kata-kata
seperti itu hampir mas Adit ucapkan setiap 10 menit sekali. Ya, aku bahagia
mas Adit bahagia, bukankah harusnya seperti itu? Rasional juga harus diterima
dengan rasional juga? Mungkin pembenaranku memang salah. Barangkali aku hanya
sebagai adik bagi mas Adit. Barangkali. Sejak saat itu aku memutuskan untuk tak
terlalu berharap lebih. Aku tahu aku menyembunyikan sesuatu, tapi aku benar-benar
tak bisa terlihat sedih di tengah-tengah anak-anak yang sangat membutuhkanku
saat itu.
*
"Hesti, dimana? Mas di
Sambargini, aku tunggu ya.”
5 bulan setelah mas Adit
memberitahu bahwa dia telah memiliki kekasih, hari ini mas Adit mengirimiku sebuah
pesan. Sebenarnya aku berjanji dengan Putri untuk melihat festival lampion pada
perayaan imlek di kotaku tahun ini. Tetapi Taman Sambargini yang tak terlalu
jauh dari tempat festival mendorongku untuk kesana, ke Taman Sambargini, aku
takut bertemu dengan mas Adit, takut
kalau-kalau rasaku itu tiba-tiba merindukan senyuman teduh itu. Tapi aku tetap bergegas
menuju Sambargini. Menemui mas Adit. Apa aku harus bahagia? Apa aku harus
sedih? Bisa jadi dia mengundangku ke Sambargini untuk diperkenalkan dengan
kekasihnya? Entah aku juga tak tahu, aku membuang pikiran burukku itu. Berharap
semua baik-baik saja.
Mas Adit menungguku di bawah
pohon Akasia, di tempat dimana aku menemukan foto-fotoku di kameranya. Di
tempat dimana tunas-tunas taman langit mulai terbuka. Membawa bhuket bunga
mawar merah dan putih. Aku menghampirinya. Tersenyum, tapi mata ini tak henti
meneteskan air mata. Air mata bahagia.
“ma…..mas Adit.” Suaraku
gemetar, tersendat-sendat. Mas Adit melongok ke belakang, aku mendapatinya
tersenyum menatapku. Gingsulnya menyembul, manis sekali. Masih teduh, tetapi mulai berbeda.
“Hesti………” Mas Adit memelukku.
Aku merasakan rasa itu membuncah. Sungguh aku bahagia, tetapi aku kecewa,
teramat kecewa. Tapi kecewaku bisa sembuh bukan? Bukankah aku sendiri yang
membuat pembenaran-pembenaran itu. Pasti juga aku sendiri yang bisa mengobati
luka dari pembenaran itu. Aku tak membalas pelukannya, sama seperti pelukannya
seusai wisuda 2,5 tahun lalu.
“Kamu sekarang kerja dimana
Hes?” Tanyanya sembari melepas pelukannya, mas Adit memberikan bunga itu. Bunga
yang sama seperti yang pernah aku beri saat mas Adit wisuda.
“Di studio foto yang aku buat
kecil-kecilan mas.” Kataku sembari memecah suasana yang hening, aku merasa
kaku. Berbeda saat aku dulu biasanya bertemu dengan masAdit, menjadi asing,
seperti orang yang baru kenal.
“Hesti tahu ga kenapa mas ajak
kesini?” Tanya mas Adit sembari memandangiku, lekat sekali, matanya tak pernah
bohong, aku tahu matanya selalu mewakili apa yang dikatakannya, bukan sehari
dua hari mengenalnya. Tetapi sudah hampir 4 tahun. Meskipun 2,5 tahunnya
dihabiskan dengan tak pernah saling bertemu.
Aku menggeleng, tersenyum. Walau
sebenarnya rasa itu membuncah ingin mengatakan “Mas Aku rindu, aku bahagia mas
disini, aku menyayangimu mas” tapi hanya dalam hati aku mengatakannya. Aku
masih menata rapi semua itu dalam perasaanku sendiri, tak kuceritakan dengan
Putri, tidak dengan siapapun.
“Mas Adit sayang sama Hesti,
daridulu, bahkan sebelum Hesti tahu kalau mas suka foto Hesti diam-diam di
kampus. Maaf mas baru bisa ngomong sekarang, tapi mas sangat menyayangi
Hesti.” Kulihat tangannya bergetar mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya, air
mataku terurai. Terharu, bahagia, sedih, aku tak tahu apa yang aku rasakan
sekarang. Mas Adit memperlihatkan cincin emas itu, kemudian diselipkannya di
jari manis tangan kiriku.
“Bagaimana dengan Sifra? Kekasih
mas yang waktu itu mas ceritakan?” Air mataku terurai, kurasakan tangan itu
mengusap air mataku, aku sesenggukan.
“Kami sudah tidak bersama, sejak
dua hari lalu, mas tidak bahagia dengannya, mas selalu memikirkan Hesti, mas mau sama Hesti.” Tangannya
menggengam tanganku, aku terus menunduk, menahan air mata. Memandangi cincin
itu. Bagaimana bisa mas Adit memutuskan keputusan secepat itu? Harusnya jika
mas Adit memang menyayangiku mas Adit tak perlu memiliki kekasih. Bukan karena
aku cemburu, bukan seperti itu, aku hanya tak suka dengan alasan yang mas Adit
utarakan. Sementara mas Adit juga menceritakan bahwa Sifra tak mau berpisah
dengan mas Adit, tetapi mas Adit lebih memilihku. Lalu aku? Haruskah aku memilih mas
Adit? Apa aku justru harus menolaknya? Sungguh ini sesak, lebih menyesakkan
daripada dua setengah tahun tak bertemu dengan mas Adit. Jika aku
menerima, sama saja aku menyakiti Sifra, menyakiti kaumku. Bagaimana bisa aku melakukan
itu? Aku tak mau menjadi orang yang jahat. Bahagia di atas luka hati perempuan
lain.
“Maaf mas, aku ga sayang sama
mas Adit.” Mas Adit terperangah, aku menyeka air mataku dengan ujung-ujung
jariku, aku memberikan cincin itu. “Aku hanya tak mau menyakiti Sifra.” Aku
tersenyum, walaupun tak bisa dipungkiri air mataku terurai dengan derasnya, aku
berbohong dengan mas Adit, Betapa aku sangat menyayangi mas Adit. Betapa mas
Adit selalu menjadi alasanku untuk tetap menunggu. Betapa mas Adit menjadi
alasanku untuk tetap tersenyum. Foto-foto itu bahkan kucetak, ku tempelkan di
setiap dinding kamarku. Sungguh hari ini aku bahagia, tapi akan lebih bahagia
lagi jika aku tak menyakiti perempuan lain untuk meraih kebahagiaanku. Aku bisa
mencari kebahagiaan lain, tapi aku tak bisa mengembalikan semua seperti semula
saat aku telah menyakiti orang lain.
*
Dentang jam mengalun, itu jam
besar yang ada di Sambargini, memekik telinga. Aku masih enggan meninggalkan
tempat ini. Hari semakin gelap. Lampu-lampu memendar di setiap sudut
Sambargini, dari kejauhan lampion-lampion yang beterbangan seperti kerlap-kerlip ribuan bintang yang menyambutnya ke langit. Di dekat kolam ikan tampak kunang-kunang beterbangan, cantik sekali.
Menarik perhatianku. Aku berjalan ke arah kunang-kunang itu terbang. Disana
kudapati mas Adit menangis. Entah apa yang dirasakannya, pilu sepertinya. Sama,
sama sepertiku. Kulihat mas Adit membuka sebuah kotak merah, ya di dalamnya ada
cincin emas yang baru aku kembalikan. Dia sesenggukan, sama saat aku mengantar
wisudanya waktu itu. Bedanya dulu dia menangis bahagia, sekarang? Entahlah apa
bahagia segera cepat menghampirinya. Semoga iya. Mas Adit tak perlu tahu jika
aku menyayanginya. Biar aku sendiri yang menyimpannya rapat-rapat :).
-END-
By: Liza
Tri Handayani
Terimakasih
kalian menginspirasiku ^^
CERPEN
PERTAMAKU
Nice! :)
BalasHapusTerimakasih :)
BalasHapusUntuk kelas amatir kebagusan ini, harusnya udah masuk kelas pro ini :-D
BalasHapusterimakasih, tapi ini benar2 baru belajar :)
BalasHapuscantikk :)
BalasHapusmakasi mbak cantik, hehe
BalasHapusbagus .,..,
BalasHapusCerpen keduanya di tungguin
hehe :D
terimakasih, doakan saja semoga yg kedua cepat di post :)
BalasHapus