Kamis, 13 Februari 2014

FOGRA




Langit penuh lampion, ya hari ini perayaan imlek di kotaku, langit dipenuhi ribuan lampion yang diterbangkan oleh anak-anak remaja keturunan Tionghoa. Beberapa detik lalu aku bersamanya. Harusnya malam ini menjadi malam yang indah juga buatku. Harusnya, tetapi semua tak seperti seharusnya. Tawa riuh menggema seiring lampion itu menjauh dari jangkauan tangan anak-anak itu. Tepuk tangan juga bergemuruh, langit seakan memihak. Hujan yang diperkirakan akan menghiasi pesta lampion ini tak kunjung datang. Digantikan dengan bulan sabit dan bintang-bintang yang gemerlap. Tetapi suasana begitu berbeda disini, tak jauh dari tempat perayaan pesta lampion, di sudut kursi taman Sambargini di bawah pohon akasia. Taman yang cukup terkenal di kotaku. Malam ini taman sepi, semua orang ikut menghadiri perayaan pesta lampion itu (mungkin).
Aku sering kesini, menghabiskan waktu senggang, sembari membaca buku di pojok taman kala pagi, seringkali aku memotret suasana disini. Mengajar anak-anak jalanan yang putus sekolah. Bila malam aku juga sering menghabiskan waktuku dengan teman-teman kampus, walau hanya sekedar membakar jagung, atau sekedar nongkrong. Taman ini luas, banyak pohon akasia tumbuh, pohon yang sekarang mulai jarang aku temui. Entahlah, mengapa pohon-pohon itu ditebang. Bahkan di daerah tempat tinggalku pohon itu dimusnahkan.
Kembali dengan aku mengapa malam ini disini, di saat semua tertawa melihat ribuan lampion terbang, aku duduk termenung, setitik air mata jatuh dari kelopak mataku. Angin semakin mendesah. Isakkanku terasa seperti alunan lagu kesedihan. Ada sebuah penyesalan, tapi untuk apa semua disesalkan? Bukankah hidup penuh dengan pilihan? Dan sekarang aku memilih ini, terduduk di bangku taman di bawah pohon akasia dengan sepi. Aku memang sedih. Tapi aku bahagia.
*
Pagi itu kami bertemu, aku dan Mas Adit. Mas Adit, laki-laki yang dikagumi semua perempuan di kampus, tinggi, tampan, berkharisma, sholeh, dan tentu saja cerdas. Aku menyukai laki-laki cerdas. Hanya sebatas menyukai. Kami dipertemukan di sebuah acara kampus kali ini, walaupun aku telah cukup lama mengenalnya. Hanya saja mas Adit yang sudah di semester 7 dan aku yang masih di semester 3, sehingga jarang bertemu. Meskipun aku dan Mas Adit satu UKM di FOGRA, UKM fotografi di kampusku.
“Kok duduk sendirian dek?” Kata mas Adit sembari memotret suasana taman. Aku duduk di pojok taman kampus sembari melihat teman-teman yang istirahat untuk makan pada acara pameran foto di taman kampus.
“Iya mas, yang lain baru pada ngambil makan”. Kataku sembari menunjuk teman-temanku yang berdesakan mengambil makanan yang disediakan panitia.
“Kamu ga makan?” Mas Adit kini duduk di sampingku, sembari membuka foto-foto hasil jepretannya pada pameran foto tadi.
“Endak mas.” Jawabku singkat
Teman-temanku yang selesai mengambil makan menunjuk-nunjuk ke arahku, tertawa genit, Lila nampak cemberut. Anak itu terkadang memang aneh.
“Cie Hesty sama Mas Adit di pojokkan berdua.” Teman-temanku tiba-tiba mengagetkan.
Mas Adit tertawa, ku lihat gingsulnya menyembul diantara gigi-giginya yang rapi. Mas Adit hanya tersenyum, lalu beranjak pergi.
“Duluan semua”. Katanya sambil melambaikan tangan.
Kini aku yang melihat mas Adit dari kejauhan. Melihat sosok itu, ya aku telah lama mengaguminya. Hanya sebatas kagum. Hanya sebatas kagum karena mas Adit cerdas, di semester 7-nya sekarang mas Adit sudah akan wisuda bulan Mei nanti. Aku tak pernah tahu apakah mas Adit sudah memiliki kekasih. Aku tak peduli, aku kan hanya sebatas kagum. Ya, aku hanya tahu aku hanya sebatas kagum. Tetapi ternyata banyak yang tidak aku tahu di balik yang aku tahu. Mana bisa seorang manusia mengubah takdir. Walau pada kenyataannya takdir ada yang bisa diubah jika manusia mau berusaha dan berdoa. Tapi siapa yang tahu kalau kagum itu kini berubah menjadi sebuah rasa yang berbeda ketika bertemu dengan Mas Adit. Bukan kagum lagi. Tapi entah itu apa aku tak pernah tahu. Bahkan kapan berubahnya rasa itu aku tak pernah tahu, aku hanya sesekali memandanginya saat di dalam sebuah forum. Aku hanya tak sengaja menangkap wajahnya ketika tersenyum. Aku hanya mencuri-curi untuk memotretnya saat di event-event fotografi. Hanya itu. Tapi siapa tahu, jika semua menjadi lebih dari itu.
Pagi itu di kampus mas Adit menyapaku, aku sempat kebingungan mencari sumber datangnya suara. Putri juga sibuk celingukan mencari siapa yang memanggilku.
“Hesti.” Sapanya sembari tersenyum menampakkan gingsulnya.
“Iya mas.” Aku menemukan mas Adit di belakangku
“Nanti malam ke taman Sambargini yuk, hunting, lagi ada event lho. Pesta kembang api gitu.”
“Emmm, gimana ya mas.” Putri menyikutku, menginjak jari-jari kakiku. Matanya melotot. Aku kebingungan. Berulang kali aku mengernyitkan dahiku. Sementara mas Adit menunggu persetujuanku untuk mau atau tidak pergi dengannya untuk hunting  foto malam nanti.
“Iya mas iya, Hesti bisa kok. Tadi dia juga bilang kalau mau ke taman itu mas, ya gitu.” Putri tiba-tiba mengiyakan.
“Okedeh, sampai jumpa nanti ya Hes?” seperti biasa, mas Adit melambaikan tangannya sembari tersenyum.
Sejak detik itu aku marah dengan Putri, sebenarnya tidak seperti marah dalam arti yang sesungguhnya. Aku hanya sebal saat Putri tiba-tiba mengiyakan ajakan mas Adit tanpa meminta pertimbangan dariku. Walau sebenarnya aku juga senang. Namun, bukan senang seperti yang dirasakan saat orang-orang sedang jatuh cinta. Hanya sebatas senang, hanya itu. Sejak satu tahun lalu mengenal mas Adit, kami memang hanya sebatas seperti ini. Hanya sebatas teman hunting  foto. Teman sharing  saat tugas-tugas kuliahku menumpuk. Teman satu forum fotografi, tak lebih dari itu. Aku juga tak pernah menginginkan menjadi lebih antara aku dengan mas Adit. Bukankah ini semua hanya sebatas pertemanan? Yang tidak perlu membutuhkan sesuatu yang lebih, yang tak perlu sebuah rasa yang lebih untuk bisa menerima satu sama lain. Tapi pada kenyataannya pertemanan ini menjadi lebih dari sekedar pertemanan. Menjadi lebih dari sekedar teman forum, dan menjadi lebih ketika semuanya menjadi rasa, antara keduanya. Bukan hanya aku, tapi juga mas Adit.
“Bagus ya tadi Hes, coba aku lihat jepretan kamu.” Tangan mas Adit menengadah meminta kameraku. Kameranya jauh lebih canggih daripada kameraku. Tentu saja jepretannya lebih sip daripada jepretanku. Tapi mas Adit pernah bilang “Sebagus-bagusnya kamera kalau yang memakai g bisa ya hasilnya jelek Hes.” Iya, itu yang pernah mas Adit katakan untuk memujiku.
“Hesss…… ngalamun?” tangan mas Adit di lambai-lambaikan di depan wajahku.
“Eh iya mas, ini.” Aku tersenyum mengulurkan kameraku, sembari menatap wajahnya yang tersenyum melihat hasil jepretanku yang kebanyakan kurang fokus pada objek yang akan kuambil.
“Bagus, bagus Hes. Lama-lama jepretanku kalah deh sama jepretan kamu.”
“Mana ada, yang ada punya mas yang keren, coba aku lihat jepretannya mas Adit.”
Sembari memesan wedang ronde, aku asik membuka foto-foto hasil jepretan mas Adit. Sedangkan mas Adit juga sibuk melihat foto-foto hasil jepretanku. Terdapat banyak foto yang mungkin belum mas Adit pindahkan di laptop. Sampai aku menemukan tumpukkan foto-fotoku. Foto-fotoku yang jelas diambil secara sembunyi-sembunyi. Saat aku sedang duduk di depan ruang dosen, saat aku duduk di pojok taman saat pameran foto, dan saat rapat forum. Ada juga fotoku saat memotret Putri di taman Sambargini dan fotoku saat ketiduran di ruang UKM FOGRA.
“Ini Hes, foto-foto kamu bagus. Kamu suka ya ngambil objek dari bawah, jadi ngebuat objeknya unik, fokus banget”. Mas Adit panjang lebar memuji jepretanku, sementara aku masih sibuk melihat foto-fotoku yang banyak di kameranya. “Hes, liat apasih?” Mas Adit melongok kameranya. Cepat-cepat dia mengambil kameranya dari tanganku.
“Mas Adit, tadi itu…….” Aku setengah takut melihat mas Adit, lebih tepatnya tak berani melihat wajahnya, apalagi melihat matanya.
“Tadi apa Hes?” mas Adit tersenyum, senyum yang teduh, lagi-lagi menampakkan kedua gingsul kanan-kirinya. Manis sekali. Entah rasa itu mulai tumbuh darimana, malam ini mas Adit tampak berbeda.
“Tadi itu mas?” Aku masih belum berani mendongakkan wajahku, aku melihat anak-anak yang masih ramai memainkan kembang api, tampak riang, tampak gembira. Mungkin sekarang rasaku seperti itu.
“Sama kan kayak punya kamu.” Kali ini mas Adit memperlihatkan foto-fotonya yang ada di kameraku. Aku malu, sungguh, ini hanya sekedar iseng. Foto-foto mas Adit yang kuambil saat mencuri-curi waktu itu hanya iseng, tak bermaksud apapun.
“Hiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii……………….” Aku hanya tersenyum, tak tahu lagi apa yang harus kukatakan, Aku malu.
“Dasar Hesti.” Mas Adit mengacak-acak rambutku, dia tertawa. Aku mulai berani mendongak sedikit. Tanpa kata apapun. Hanya sebatas tersenyum dan tertawa, rasa malu, takut. Tapi aku tak pernah menyadari jika semua ini mulai tumbuh, dari situ, dari sebuah foto yang ada dalam kamera yang bukan pemiliknya. Dari senyum manis itu, aku mulai tahu apa itu rasa suka. Dari tawa itu aku mulai tahu rasanya ingin selalu dekat dengan seseorang.
*
Sakit ketika aku menatap punggungnya menjauh, tak melihatku lagi. Aku tak menyuruhnya pergi. Aku hanya tak mau menjadi orang yang jahat. Bahagia di atas sakitnya hati perempuan lain. Jangan tanya apa rasaku dengan mas Adit sudah hilang? Tentu tidak, rasa itu masih ada. Sama saat foto-foto itu diketahui masing-masing berada dalam kamera yang bukan pemiliknya. Sama saat aku dan mas Adit berdua menikmati kembang api malam itu. Takkan berubah. Bukannya takkan, mungkin lebih tepatnya belum berubah. Sama seperti tunas-tunas rasa itu tumbuh. Sama seperti senyum teduhnya yang banyak membuatku untuk selalu ingin dekat dengan mas Adit. Ya, sama seperti itu. Tapi jika ini tak kulakukan aku hanya akan menjadi perempuan yang sia-sia, menjadi perempuan yang menyakiti orang lain. Bagaimana bisa mas Adit meninggalkan (mantan) kekasihnya dan malam ini kembali ke kota ini hanya untuk menemuiku, mengatakan bahwa mas Adit menyayangiku, mengatakan bahwa mas Adit kecewa tak pernah bilang rasa itu daridulu. Menyadari bahwa dia tak bahagia dengan kekasihnya karena terus mengingat aku. Tapi bagaimana aku bisa menerimanya dengan alasan yang tak masuk akal itu? Lalu dimana dia pergi selama dua setengah tahun ini? Kemana janjinya saat akan datang menemuiku dua kali dalam satu tahun? Menghilang? Tanpa kabar, tanpa apapun, lupakah dia? Lalu tiba-tiba sekarang dia datang dengan alasan tak masuk akal itu, dengan kekecewaannya terhadap perasaannya, terhadap rasa sesal tak menyatakan rasa yang sesungguhnya sedari dulu. Bukan hanya mas Adit yang terluka malam ini. Tapi aku jauh lebih terluka. Aku yang harus melupakan sosok yang mengajarkan aku arti rasa yang sesungguhnya melalui senyumannya. Mencarinya yang tak kunjung kutemukan selama dua tahun ini. Lalu tiba-tiba dia datang di sebuah sosial media, menanyakan kabar, menanyakan dengan siapa aku sekarang, menanyakan banyak hal tentang aku. Haruskah aku bahagia? Sedih? Ketika saat itu juga dia selalu mengunggah foto-foto kemesraannya dengan kekasihnya, haruskah aku senang? Atau justru sebaliknya? Aku tak mengerti. Jujur, aku senang saat mas Adit datang, bahagia, tapi aku kecewa karena semua tak bisa seperti dulu lagi. Seperti ada tembok yang menghalangi kebahagiaanku.
*
Sejak kejadian di taman Sambargini itu mas Adit menjadi lebih sering hunting foto bersamaku, menjadi lebih sering bertemu. Entah hanya untuk sekedar makan ataupun mengajari tugas-tugas kuliahku. Lalu bagaimana dengan rasa itu? Sungguh, aku menikmatinya. Aku mulai menata rasa itu, merapikannya di tempat yang aku sebut taman langit. Ya seperti di dongeng-dongeng semasa aku masih kecil, taman langit selalu identik dengan keindahan, taman bunga bertebaran dimana-mana, pelangi yang tampak sepanjang tahun, birunya langit, dan peri-peri kecil seperti dandelion dan tinkerbell. Aku menempatkannya di tempat yang indah, di tempat yang baik. Tempat yang khusus kupersiapkan untuk seseorang yang mampu membuatku tersenyum, tempat yang khusus kupersiapkan untuk seseorang yang bisa membuatku teduh saat melihat senyumannya, ya aku menemukannya. Dalam keragu-raguan ini aku mulai berani memutuskan. Taman langit ini untuk dia, untuk mas Adit. Meskipun tanpa kata sayang, meskipun tanpa sebuah kalimat aku cinta kamu. Tapi caranya melihat mataku, aku tahu. Aku tahu mas Adit bisa menjagaku.
Pagi itu kutemukan mas Adit di sudut kantin. Dia asik ngobrol dengan teman-temannya. Namun seketika menghampiriku yang baru saja ingin memesan soto untuk makan siang. Putri hari ini tak menemaniku makan. Setelah jam ke 5-6 berakhir Putri memutuskan untuk bolos kuliah karena pengen main dengan pacarnya, Rendy.
“Hes, ga kuliah?” Tanyanya sembari tersenyum.
“Endak mas, nanti siang jam 1. Makan dulu, laper banget.” Kataku sembari memegangi perutku yang memang sangat kelaparan.
“Oh….. gabung yuk Hes, nanti disana aja.” Mas Adit tersenyum sambil menunjuk gerombolan teman-temannya yang memberikan senyum untukku. Aku tersenyum mengiyakan, aku mengikuti langkah kaki mas Adit menuju meja pojok yang menjadi tempat favorit mas Adit dan teman-temannya.
“Hai Hesti…” mas Evan tersenyum menjabat tanganku, dia teman mas Adit yang paling akrab. Temanku di FOGRA juga.
“Hei mas Evan…” Aku tak lupa menjabat tangan teman-teman mas Adit satu persatu.
Fitria perempuan satu-satunya diantara mereka yang duduk di hadapanku menyikut tangan mas Adit yang kebetulan duduk di hadapanku juga. Mata Fitria mengarah ke aku. Sembari tersenyum mas Adit tak menghiraukan godaan Fitria.
“Cie Adit, ngomong dong sama Hesti, jangan cuma diem.” Fitria mulai memecah keheningan diantara bibir-bibir yang sedari tadi menyunggingkan senyum untukku.
“Ngomong apa Fit?” mas Evan nampak kebingungan.
“Alah itu lho Van itu.” Mata Fitria menyipit ke arahku, aku tersenyum melihat tingkah genk aneh ini.
“Ohhh…. Itu.” mas Evan mengangguk mengerti, aku tak menghiraukan gurauan mereka.
“Apaan sih kalian, huuuuuuuuuu.” Mas Adit berseru sambil menoyor kepala Evan dan Fitria.
“Mas Adit, mbak Fitria sama mas Evan ga makan?” aku mencoba menawarkan makan untuk mereka saat pesananku datang.
“Ga ah, udah kenyang, kamu aja dek Hesti.” mas Evan menjawab cekikikan sembari menyikut tangan mas Adit. Mas Adit hanya tersenyum, lagi-lagi senyum teduh itu disunggingkannya untukku. Aku membalasnya dengan senyum simpul.
*
Hari ini mas Adit wisuda, tepat 3,5 tahun untuk menjadi seorang sarjana komunikasi. Aku diundang untuk menghadiri. Walaupun aku tak boleh masuk dan hanya duduk menunggu sampai acara selesai. Ya, undangan memang hanya diberikan untuk dua orang saja yaitu orang tua mas Adit. Tetapi tadi pagi aku sempat bertemu mas Adit dengan jas hitam yang dia kenakan. Tampan sekali. Tempat yang kupersiapkan seakan semakin kuperindah dengan pembenaran-pembenaranku. Walaupun tak pernah ku ungkapkan dan tak pernah ku ceritakan dengan siapapun. Tak juga dengan Putri, aku menyimpannya rapat-rapat, dalam diam, dalam kagum, dalam rasa yang tumbuh daun-daunnya, memang belum berbunga, tapi setelah daun-daun itu tumbuh akan tumbuh bunga juga bukan? Seperti bunga mawar yang aku tanam di pot di depan kamarku. Daun-daun baru mulai tumbuh, lalu bunga yang memiliki dua warna itu juga akan tumbuh setelah itu.
“Selamat ya mas, selamat dengan nama baru dengan embel-embel Sarjana, selamat karena lulus dengan prestasi yang membanggakan, cumlaude”. Aku menjabat tangan mas Adit, memberikannya bunga mawar merah dan putih yang aku petik dari bunga-bunga yang aku tanam dalam pot di depan kamarku. Aku membungkusnya dengan plastik hias, membentuk sebuah bhuket yang indah.
“Terimakasih adek.” Katanya sembari mengacak-acak rambutku, tersenyum, menatapku lekat. Dan tak kuduga mas Adit memelukku. Membisikkan kalimat itu “Mas mulai besok pasti udah mulai jarang ke kampus, jarang nemenin Hesti ke FOGRA lagi, jarang nemenin Hesti hunting, jarang nemenin Hesti ngerjain tugas. Dan yang pasti jarang buat nyuri-nyuri gambar Hesti lewat kamera mas. Tapi jangan sungkan ya Hes buat main-main ke rumah, ada Om ada Tante. Mas besok mau kerja ke Jakarta, Hesti pasti udah tahu kan kalau mas ketrima di perusahaan asing itu? Itu impian mas Hes, buat bekal hari esok, buat bangun rumah, buat bangun keluarga. Bisa jadi sama Hesti.”
Aku tercengang, aku ingin menangis, ya tapi aku malu dengan kedua orang tua mas Adit yang berdiri sambil tersenyum di belakang mas Adit, di hadapanku. Sesak, rasanya sesak. Akan jarang bertemu dengan mas Adit, akan jarang pula hunting foto bareng mas Adit dan yang pasti aku akan sangat merindukan senyumnya yang teduh, yang menemaniku di sudut kampus. Mas Adit melepaskan pelukanku, aku melihat matanya berkaca-kaca, entah apa yang dirasakan sosok indah itu, entah apa yang sebenarnya hatinya ingin katakan. Entah apa aku mengerti maksud dari semua perkataannya. Entah, aku berlari di dalam pikiranku sendiri, berputar-putar, hingga kudapati mas Adit tersenyum. Menghapus air mata dari mata kananku yang aku sendiri tak pernah menyadari kalau aku menangis. Aku membalas senyumnya.
“Mas jadi ambil pekerjaan itu?, kapan berangkatnya?” Kataku memecahkan suasana hening beberapa detik lalu.
“Jadi Hes, besok pagi-pagi sekali jam 5.” Senyumnya lagi-lagi membuatku mulai merasa rindu, karena akan jarang kudapati senyum indah itu.
“Berapa lama disana mas?” aku bertanya penuh selidik.
“2 tahun, tapi mas bakalan sering-sering kesini kok, mungkin satu tahun dua kali. Karena mungkin mas bakalan disibukkan dengan pekerjaan itu Hes.” Tangannya mengacak-acak rambutku, senyumnya mengembang.
“Iya mas, kalau kesini sering-sering ajak aku ke Sambargini lagi ya?”
“Pasti Hesti”.
*
Sudah satu tahun sejak mas Adit pergi, tetapi tak kunjung ada cerita tentangnya, kabar, telepon, bahkan surat pun tak ada. Ah, apa kuasaku? Aku bukan siapa-siapanya. Barangkali aku terlalu sering membuat pembenaran sendiri dengan perasaanku yang mulai tumbuh saat itu. Dan kini pohon yang tumbuh itu telah memiliki bunga, bunga-bunga yang berwarna-warni. Tapi tak pernah disiram pemiliknya. Taman langit  seakan cemas, kalut. Kemudian ragu itu muncul. Salahkah aku memilih menetapkan sebuah hati? Salahkah aku menyayanginya? Menyayangi mas Adit. Nampaknya memang salah. Malam ini aku menangis, tangisan yang berbeda dari satu tahun lalu. Aku benar-benar mulai merasakan rindu, mulai merasakan senyuman teduh itu lama-lama menjadi gersang, tak tersentuh. Aku banyak menghabiskan waktuku di FOGRA, setidaknya disana aku masih bisa bertemu dengan jejak kerinduan mas Adit. Apa dia juga merasakan hal yang sama denganku? Entahlah aku tak mengerti. Sekarang aku sudah semester 5 akhir, hampir semester 6. Tapi kabar keberadaannya pun aku tak tahu. Setahuku saat aku ke rumah mas Adit, om dan tante sudah memutuskan pindah. Ah sudahlah, semua ini menambah runyam bunga-bunga yang mulai tumbuh dengan suburnya.
Aku menjalani hidup seperti biasa. Namun, seakan semua tak biasa, berbeda. Meskipun Putri masih selalu setia menemani. Tetapi semua terasa berbeda. Semua terasa asing. Sungguh, aku tak pernah menginginkan ini terjadi. Aku sering melamun dan Putri memarahiku. Tiba-tiba aku merindukan ibu, ya disaat seperti ini ibu memang selalu menasehatiku, menenangkanku. Tetapi ibu sudah bahagia disana, aku yakin ibu bahagia di surga. Kini Sambargini menjadi tempat favoritku, sebenarnya bukan hanya kini, tetapi sejak dulu. Aku mulai menyibukkan diri. Mengajar anak-anak jalanan di taman Sambargini sepulang kuliah. Aku sering menjadikan mereka objek fotografiku. Semua ini membuatku sedikit lupa dengan kesedihanku setahun ini. Ya, melihat anak-anak itu tersenyum cukup bagiku.
Waktu berputar seperti ilmuku yang aku curahkan untuk anak-anak didikku. Putri selalu menjadi partner terbaik saat aku mengajar mereka. Bahkan Putri yang orang tuanya memiliki usaha catering selalu menyediakan makanan untuk anak-anak itu. Mereka menjadi semakin bersemangat untuk belajar, sungguh aku bahagia melihat senyum mereka. Tahun ini adalah tahun kedua setelah mas Adit pergi. Aku tak melupakannya, aku hanya mencari kesibukkan agar aku tak menjadi sedih karena terus memikirkannya. Barangkali mas Adit benar-benar sibuk dua tahun ini. Akan tetapi, malam ini pembenaranku menjadi salah, pembenaran memang salah jika itu memang bukan yang sebenarnya. Seperti biasa setiap malam aku online. Aku membuka emailku. Aku terkejut, banyak kutemukan email dari mas Adit, satu minggu yang lalu lebih tepatnya. Aku senang, sungguh, ini lebih dari bahagia. Dia meminta nomorku, menelponku. Malam ini banyak yang mas Adit ceritakan, tapi bukan tentang aku dan dia. Tentang perempuan lain yang mas Adit sebut sebagai kekasih. Seketika aku mengurungkan kebahagiaanku karena tahu bahwa mas Adit baik-baik saja. Kata-katanya sewaktu wisuda itu menguar “Bisa jadi sama Hesti”. Aku tak bisa konsentrasi apa yang sedang mas Adit bicarakan, aku tak bisa mendengar suaranya dengan jelas.
Gemuruh bunga-bunga yang tumbuh mulai berguguran. Jatuh, kemudian layu. Aku tersenyum, tapi saat itu juga aku menangis. Sampai mas Adit menutup teleponnya pun aku masih tak bisa mendengar suara mas Adit secara jelas. Bukan karena aku mulai tuli, tapi gemuruh bunga-bunga itu yang terus berguguran dengan cepat. Tidak, aku tidak membencinya. Aku bahagia mendengar samar-samar tiap helai kalimat yang mas Adit ucapkan “Hes, dia cantik, sama kayak kamu, aku sangat menyayanginya”, kata-kata seperti itu hampir mas Adit ucapkan setiap 10 menit sekali. Ya, aku bahagia mas Adit bahagia, bukankah harusnya seperti itu? Rasional juga harus diterima dengan rasional juga? Mungkin pembenaranku memang salah. Barangkali aku hanya sebagai adik bagi mas Adit. Barangkali. Sejak saat itu aku memutuskan untuk tak terlalu berharap lebih. Aku tahu aku menyembunyikan sesuatu, tapi aku benar-benar tak bisa terlihat sedih di tengah-tengah anak-anak yang sangat membutuhkanku saat itu.
*
"Hesti, dimana? Mas di Sambargini, aku tunggu ya.”
5 bulan setelah mas Adit memberitahu bahwa dia telah memiliki kekasih, hari ini mas Adit mengirimiku sebuah pesan. Sebenarnya aku berjanji dengan Putri untuk melihat festival lampion pada perayaan imlek di kotaku tahun ini. Tetapi Taman Sambargini yang tak terlalu jauh dari tempat festival mendorongku untuk kesana, ke Taman Sambargini, aku takut bertemu dengan  mas Adit, takut kalau-kalau rasaku itu tiba-tiba merindukan senyuman teduh itu. Tapi aku tetap bergegas menuju Sambargini. Menemui mas Adit. Apa aku harus bahagia? Apa aku harus sedih? Bisa jadi dia mengundangku ke Sambargini untuk diperkenalkan dengan kekasihnya? Entah aku juga tak tahu, aku membuang pikiran burukku itu. Berharap semua baik-baik saja.
Mas Adit menungguku di bawah pohon Akasia, di tempat dimana aku menemukan foto-fotoku di kameranya. Di tempat dimana tunas-tunas taman langit mulai terbuka. Membawa bhuket bunga mawar merah dan putih. Aku menghampirinya. Tersenyum, tapi mata ini tak henti meneteskan air mata. Air mata bahagia.
“ma…..mas Adit.” Suaraku gemetar, tersendat-sendat. Mas Adit melongok ke belakang, aku mendapatinya tersenyum menatapku. Gingsulnya menyembul, manis sekali. Masih teduh, tetapi mulai berbeda.
“Hesti………” Mas Adit memelukku. Aku merasakan rasa itu membuncah. Sungguh aku bahagia, tetapi aku kecewa, teramat kecewa. Tapi kecewaku bisa sembuh bukan? Bukankah aku sendiri yang membuat pembenaran-pembenaran itu. Pasti juga aku sendiri yang bisa mengobati luka dari pembenaran itu. Aku tak membalas pelukannya, sama seperti pelukannya seusai wisuda 2,5 tahun lalu.
“Kamu sekarang kerja dimana Hes?” Tanyanya sembari melepas pelukannya, mas Adit memberikan bunga itu. Bunga yang sama seperti yang pernah aku beri saat mas Adit wisuda.
“Di studio foto yang aku buat kecil-kecilan mas.” Kataku sembari memecah suasana yang hening, aku merasa kaku. Berbeda saat aku dulu biasanya bertemu dengan masAdit, menjadi asing, seperti orang yang baru kenal.
“Hesti tahu ga kenapa mas ajak kesini?” Tanya mas Adit sembari memandangiku, lekat sekali, matanya tak pernah bohong, aku tahu matanya selalu mewakili apa yang dikatakannya, bukan sehari dua hari mengenalnya. Tetapi sudah hampir 4 tahun. Meskipun 2,5 tahunnya dihabiskan dengan tak pernah saling bertemu.
Aku menggeleng, tersenyum. Walau sebenarnya rasa itu membuncah ingin mengatakan “Mas Aku rindu, aku bahagia mas disini, aku menyayangimu mas” tapi hanya dalam hati aku mengatakannya. Aku masih menata rapi semua itu dalam perasaanku sendiri, tak kuceritakan dengan Putri, tidak dengan siapapun.
“Mas Adit sayang sama Hesti, daridulu, bahkan sebelum Hesti tahu kalau mas suka foto Hesti diam-diam di kampus. Maaf mas baru bisa ngomong sekarang, tapi mas sangat menyayangi Hesti.” Kulihat tangannya bergetar mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya, air mataku terurai. Terharu, bahagia, sedih, aku tak tahu apa yang aku rasakan sekarang. Mas Adit memperlihatkan cincin emas itu, kemudian diselipkannya di jari manis tangan kiriku.
“Bagaimana dengan Sifra? Kekasih mas yang waktu itu mas ceritakan?” Air mataku terurai, kurasakan tangan itu mengusap air mataku, aku sesenggukan.
“Kami sudah tidak bersama, sejak dua hari lalu, mas tidak bahagia dengannya, mas selalu memikirkan Hesti, mas mau sama Hesti.” Tangannya menggengam tanganku, aku terus menunduk, menahan air mata. Memandangi cincin itu. Bagaimana bisa mas Adit memutuskan keputusan secepat itu? Harusnya jika mas Adit memang menyayangiku mas Adit tak perlu memiliki kekasih. Bukan karena aku cemburu, bukan seperti itu, aku hanya tak suka dengan alasan yang mas Adit utarakan. Sementara mas Adit juga menceritakan bahwa Sifra tak mau berpisah dengan mas Adit, tetapi mas Adit lebih memilihku. Lalu aku? Haruskah aku memilih mas Adit? Apa aku justru harus menolaknya? Sungguh ini sesak, lebih menyesakkan daripada dua setengah tahun tak bertemu dengan mas Adit. Jika aku menerima, sama saja aku menyakiti Sifra, menyakiti kaumku. Bagaimana bisa aku melakukan itu? Aku tak mau menjadi orang yang jahat. Bahagia di atas luka hati perempuan lain.
“Maaf mas, aku ga sayang sama mas Adit.” Mas Adit terperangah, aku menyeka air mataku dengan ujung-ujung jariku, aku memberikan cincin itu. “Aku hanya tak mau menyakiti Sifra.” Aku tersenyum, walaupun tak bisa dipungkiri air mataku terurai dengan derasnya, aku berbohong dengan mas Adit, Betapa aku sangat menyayangi mas Adit. Betapa mas Adit selalu menjadi alasanku untuk tetap menunggu. Betapa mas Adit menjadi alasanku untuk tetap tersenyum. Foto-foto itu bahkan kucetak, ku tempelkan di setiap dinding kamarku. Sungguh hari ini aku bahagia, tapi akan lebih bahagia lagi jika aku tak menyakiti perempuan lain untuk meraih kebahagiaanku. Aku bisa mencari kebahagiaan lain, tapi aku tak bisa mengembalikan semua seperti semula saat aku telah menyakiti orang lain.
*
Dentang jam mengalun, itu jam besar yang ada di Sambargini, memekik telinga. Aku masih enggan meninggalkan tempat ini. Hari semakin gelap. Lampu-lampu memendar di setiap sudut Sambargini, dari kejauhan lampion-lampion yang beterbangan seperti kerlap-kerlip ribuan bintang yang menyambutnya ke langit. Di dekat kolam ikan tampak kunang-kunang beterbangan, cantik sekali. Menarik perhatianku. Aku berjalan ke arah kunang-kunang itu terbang. Disana kudapati mas Adit menangis. Entah apa yang dirasakannya, pilu sepertinya. Sama, sama sepertiku. Kulihat mas Adit membuka sebuah kotak merah, ya di dalamnya ada cincin emas yang baru aku kembalikan. Dia sesenggukan, sama saat aku mengantar wisudanya waktu itu. Bedanya dulu dia menangis bahagia, sekarang? Entahlah apa bahagia segera cepat menghampirinya. Semoga iya. Mas Adit tak perlu tahu jika aku menyayanginya. Biar aku sendiri yang menyimpannya rapat-rapat :).
-END-

By: Liza Tri Handayani
Terimakasih kalian menginspirasiku ^^
CERPEN PERTAMAKU



8 komentar: